Kondisi gubuknya memprihatinkan, hanya berukuran 2 x 3 meter, untuk kehidupan empat jiwa. Marni dan tiga anaknya, Abdul (14 tahun), Mira (12 tahun), dan si bungsu Fadly. Atap dan dinding gubuk terbuat dari anyaman daun yang mengering dan pintu berlapis kain.
“Ya, di sinilah rumah saya, tempat berlindung yang kami punya,” kata Marni soal gubuk yang telah ditempati hampir tiga tahun sejak Agustus 2021.
Marni dan anak-anaknya terpaksa tinggal di gubuk tersebut, setelah ditinggal pergi suami dan resmi bercerai dua setengah tahun lalu.
Marni tak punya pilihan lain selain pulang ke kampungnya meski harus tinggal di gubuk dekat hutan yang jauh dari pemukiman warga desa setempat.
Setelah resmi bercerai sempat ia mencoba bertahan menjadi buruh harian di Baras, tapi bayang romantisme masa lalu yang kandas selalu menghantui batinnya.
Marni membulatkan tekad membawa ketiga anaknya, pulang ke Batetangnga. Saat itu pula kehidupan anak-anak Marni berubah drastis. Jangankan bersekolah, untuk waktu tidur nyenyak di rumah yang layak dan bermain seperti anak-anak pada umumnya pun mereka tak punya.
Putra sulungnya, Abdul (14), mesti bekerja di sebuah peternakan ayam untuk membantu perekonomian keluarga, dalam satu bulan mendapatkan upah Rp500 ribu.
Halaman : 1 2 Selanjutnya