Perempuan Penyapu Halaman [1]
Oleh : Pepih Nugraha
Perempuan itu biasa menyapu halaman rumah dinihari. Tentu saja ini prilaku aneh, yang mengundang tanya para tetangga. Di saat orang-orang terlelap di peluk mimpi, suara ujung sapu lidi menggores jalan sudah terdengar jauh sebelum azan subuh berkemundang dari masjid terdekat.
Ditambah lagi, keberadaan Sofiah, perempuan penyapu halaman berumur duapuluh lima tahun itu, baru berbilang pekan di desa itu.
Semula orang-orang peduli dengan prilaku Sofiah, setidaknya ingin tahu mengapa perempuan berhidung mancung berkulit kuning langsat ini selalu menyapu halaman lewat tengah malam. Tidakkah ada waktu lain selain dinihari?
Tetapi manakala mengetahui Sofiah menderita kejiwaan yang dalam, mereka satu persatu menyingkir. Cenderung takut berhadapan dengan orang gila, jangan-jangan nanti dianggap gila pula. Mereka cukup mendengar “srak-srek srak-srek” saja dari balik selimut, suara sapu lidi menyentuh permukaan halaman yang terdengar ketika embun dinihari mulai turun.
Hanya satu pemuda yang terjaga dan nyaris setiap dinihari menyaksikan dari kejauhan perempuan penyapu halaman itu. Seolah-olah ia menjaganya dari jarak tertentu. Selepas Sofiah menyapu dan kembali masuk ke rumahnya, Hamdani, si pemuda itupun balik badan ke masjid terdekat. Tanggung menunggu azan subuh berkumandang.
Sas-sus pun merebak seketika di desa itu. Ada yang beranggapan, satu-satunya anak perempuan keluarga Tosari itu menderita depresi berat sepulang dari kota. Konon, di kota Sofiah, menjadi korban sindikat pedagangan perempuan. Ia sempat dijual dan dijadikan “nyai-nyai” oleh pengusaha benih udang yang kaya sebelum dilempar lagi ke lelaki hidung belang lainnya karena sudah bosan
Begitu seterusnya, nasib Sofiah tidak beda jauh dengan piala yang digilir oleh para pemenang. Nasib lebih buruk kemudian menempatkan Sofiah di sebuah etalase kaca, mirip aquarium tempat berkumpulnya perempuan muda berpakaian minim dan terbuka, nyaris telanjang. Lelaki hidung belang yang ingin memuaskan dahaga kelelakiannya tinggal menunjuk saja perempuan di balik etalase kaca itu.
Sofiah pernah menjadi salah satu dari perempuan-perempuan itu sebelum akhirnya seseorang mengantarkannya pulang ke desa menggunakan kereta senja. Sofiah adalah perempuan muda yang bercita-cita ingin menjadi perempuan terhormat dengan cara menikah dengan lelaki kaya-raya.
Tetapi, perjalanan hidupnya jatuh ke tangan seorang lelaki bermulut manis, merayunya, mengaku sebagai pria kaya, kemudian berjanji akan menikahinya, tetapi kenyataannya ia menjual sofiah setelah menghisap madunya sedemikian keji. Ibarat pepatah, sepah pun dijual lagi dengan harga tinggi.
Begitulah Sofiah.
Dinihari ini, seperti malam-malam sebelumnya, ia kembali menyapu halaman rumahnya. Kalau saja Hamdani, yang memandangnya dari kejauhan agak lebih mendekat, niscaya ia akan menemukan tatapan Sofiah yang kosong. Sangat kosong. Sedang mulutnya tak henti-hentinya bergumam tanpa makna, nyaris tak terdengar, hanya gerakan bibir tipisnya saja yang bergerak seperti mengikuti irama sapu lidi.
Dari kejauhan pula, saat irama sapu lidi “srak-srek srak-srek” terdengar, pikiran Hamdani terperangkap pada peristiwa sekitar tujuh tahun lalu di sebuah dangau yang sepi ketika hujan lebat turun bagai tercurah dari langit. Bersama sofiah.
Usia mereka terpaut tiga atau empat tahun. Saat Sofiah berusia 18, Hamdani masih berumur 15. Mereka sering berjalan bersama karena kebutuhan, yang mengharuskan keduanya mencari kayu bakar berupa ranting-ranting patah di kaki bukti yang berbilang jarak dari rumah mereka.
Karena terpaut usia, Hamdani menyebut Sofiah “Teteh”, persisnya “Teh Sofi”, sedangkan Sofiah memanggil Hamdani cukup dengan panggilan “Hamdan” saja.
Semula tidak ada getar-getar apapun di antara mereka, lebih karena keduanya saling membutuhkan, persisnya membutuhkan teman jalan untuk mencari kayu bakar atau jamur merang di pinggir hutan. Hamdani baru saja merasakan mimpi basahnya beberapa malam lalu, sedang Sofiah telah tumbuh sebagai perempuan matang.
Hujan semakin menderas, sedangkan angin menampar keras kedua insan ini pada sebuah dangau yang terpencil. Atap daun kelapa dangau itu kerap tersingkap oleh terpaan angin, sedang angin itu pula yang menyeret kawanan air hujan membasahi keduanya tanpa ampun, meski mereka sudah bernaung di bawah dangau itu.
“Kemarilah mendekat, Hamdan, aku kedinginan!” terdengar suara Sofiah dari ujung dangau. Kain yang dikenakannya tersingkap, memperlihatkan betis dan sebagian pahanya yang kuning langsat.
Hamdan ragu meluluskan permintaan itu, tetapi sedetik kemudian Sofiah sudah menyeret lengan remaja tanggung itu, merebahkan badannya dan membiarkan Hamdani berada di atasnya.
Hujan semakin menderas, menampar atap dangau, menciptakan musik yang serasi dengan alam. Hamdan berontak. Ada bagian tubuhnya yang tiba-tiba meregang, jantungnya berdebur kencang seperti ombak Pangandaran. “Aku takut, Teh!” dengusnya di telinga Sofiah. Bersamaan dengan itu, Sofiah semakin membuka kainnya. “Jangan takut, Hamdan, lakukan!”
Burung pipit yang bersarang di pojok atap dangau menjadi saksi menyatunya dua tubuh manusia dalam alunan irama hujan-angin yang syahdu dan sesekali guntur yang menyalak….
Hamdani terjaga dari lamunannya tatkala Sofiah yang kini sedang menyapu halaman sudah selesai dengan tugasnya. Dari kejauhan, terlihat Sofiah siap-siap hendak memasuki rumahnya.
“Teh Sofi, tunggu!”
Teriakan Hamdani mampu menahan perempuan penyapu halaman itu. Ia sejenak berdiri mematung di ambang pintu, tatapan kosongnya mencari arah datangnya suara.
“Aku di sini, Teh, aku Hamdan. Masih ingat?” bisik Hamdani setelah jarak semakin menipis.
Tidak ada jawaban. Mata perempuan penyapu halaman itu masih kosong. Terburu-buru ia menutup pintu, membiarkan suara yang memanggil namanya tetap di luar, “Teh Sofi, aku Hamdan, Teh!”
Dinihari berikutnya, Hamdani menunggu dari kejauhan datangnya Sofiah mulai menyapu halaman. Ia kini sudah mulai berani mendekat, bahkan mengajaknya bercakap-cakap. Sejauh itu, mata Sofiah tetap saja kosong, seolah-olah memandang ke kejauhan tetapi tidak fokus. Mengambang.
“Teh Sofi, masih ingat peristiwa di dangau itu?” Hamdani memberanikan diri membuka percakapan dengan harapan pikiran Sofiah lebih terbuka, bukankah itu pengalaman pertama mereka berdua? “Saat itu hujan turun dengan lebatnya, Teh, angin menampar tubuh kita berdua. Ingat itu, Teh?”
Sofiah tertegun, meski tatapannya masih kosong. Wajahnya tertunduk. “Ingat, Teh, aku Hamdan!”
“Bukan,” teriak Sofiah memecah keheningan dinihari. “Kamu si keparat Gofar, kamu si jahat Johan, kamu si rakus Lahia. Kamu itu mereka..!!!”
Sedetik kemudian tubuh Sofiah sudah tertelan pintu yang dibantingnya keras-keras, ditutupnya rapat-rapat. Sapu lidi yang biasa Sofiah gunakan tergeletak di kaki Hamdani.
Hening kemudian mendaulat suasana. Dinihari pun berakhir ketika lintang kemukus sudah mulai bercahaya di langit Timur.
Lima dinihari sejak peristiwa itu, berlalu tanpa kehadiran Sofiah si penyapu halaman rumah. Hamdani menghitung hari. Tidak terdengar lagi irama “srak-srek srak-srek” ujung sapu lidi menyentuh halaman rumah. Dinihari menjadi sunyi tanpa suara, kecuali suara jangkrik dan kodok yang tidak pernah menghilang. Ada kerinduan yang tidak biasa menekan perasaan Hamdani.
Pada dinihari berikutnya, ia memberanikan diri mengendap-endap mendekaki rumah Tosari, sekadar ingin memastikan keberadaan Sofiah, yang kini sudah tidak pernah menyapu halaman rumah lagi. Susana begitu mencekam saat penduduk benar-benar mabuk dalam tidur lelap mereka.
Hamdani berhasil mendekat halaman belakang rumah yang tergolong besar di desa itu. Ada yang sedang bersenandung lagu pilu dari halaman belakang rumah itu. Pada dinihari yang senyap itu.
Dalam keremangan cahaya obor, Hamdani mendapatkan Sofiah sedang duduk melonjorkan kedua kakinya. Ia masih ingat, kain penutup tubuh Sofiah adalah kain yang dipakainya pada peristiwa di dangau beberapa tahun lalu.
Hamdani menatap tajam wajah Sofiah, berharap tatapan kosong itu sudah berisi.
“Teh Sofi, ini Hamdan! Masih ingat?”
Tidak ada jawaban.
Dua kaki indah perempuan itu kini sudah terpasung pada kayu balok besar. (Bersambung)