Oleh : Sisfan Tototi
SEHARUSNYA sejak pertama keakraban kita – aku harus jujur bahwa aku mencintaimu. Padahal waktu itu kau sudah memberikan tanda-tanda agar aku bisa mengatakan aku mencintaimu. Aku sadar saat itu memang aku adalah orang yang egois, sehingga wajar saja jika sekarang aku banyak menanggung rasa rindu, rasa bersalah, rasa kecewa, rasa menyesal dan rasa lelah. Kadang ada pikiran untuk tidak mengingatmu lagi, tapi itu hanya sebatas ekspektasi yang selalu kalah dengan kenyataan.
Masih jelas diingatan tentang suatu sore yang menyeret kita ke Watu Lumbung hanya untuk menyaksikan jingga senja yang pelan-pelan digulung oleh kegelapan. Tak hanya itu, kita juga menyantap mendoan khas Parangtritis di tambah dengan es kelapa muda yang di campur dengan sirup. Lalu matamu, tak berkedip menatap ke arah selatan seperti ingin membantu sang senja yang di siksa oleh kegelapan. Dari handphone yang aku pegang, beberapa kali kau mengabadikan penderitaan yang di alami oleh sang senja. Cukup lama kita berdua di Watu Lumbung, hingga gelap saja iri kemudian kita di usirnya secara paksa.
Mungkin malam itu adalah malam yang terindah untuk kita. Bumi saja mengerti apa yang kita rasakan berdua. Hingga ia mengirimkan gerimis yang banyak agar kita lebih menikmati perjalanan kembali menuju kota Yogyakarta. Namun pikiran kita berkata lain, kita lebih memilih berteduh sejenak, bukan karena tidak suka dengan suguhan bumi, akan tetapi kita menghemat supaya waktu kita berdua tidak cepat habis. Dan di bawah atap yang tua, kita duduk berdua sambil bertatapan tak berkedip, terlarut di antara lolongan kendaraan dan nyanyian gerimis yang genit.
Hawa dingin serasa kian berkuasa, sebab ku lihat bibirmu mulai bergetar pelan, tapi kau hanya melemparkan senyum saat ku tanya –apa kamu kedinginan? Kau hanya asyik melihat gerimis yang sedang bergembira riang. Ku lihat wajahmu yang sesekali terkena percikan cahaya kendaraan, sungguh aku terpukau, inginnya aku berbisik ditelingamu ‘bahwa aku mencintaimu’. Tapi itu begitu berat, lebih berat dari pada aku berhadapan dengan seekor serigala yang sudah lapar bukan main. Aku hanya bisa mematung memperhatikanmu dan menenangkan amukan perasaanku. Kau kembali memberikan tatapan manja, aku hanya menundukan kepala dan diam tanpa ada gurauan.
Berapa lama kita duduk di bawah atap yang tua hingga aku tidak sadar gerimis telah lewat sebagai kenangan. Sedangkan gelap semakin menua, desir-desir angin mulai terasa, hawa dingin semakin hebat, bergumpal, kemudian menyerang kita berdua disepanjang jalan. Kedua tanganmu memegang erat pinggangku, tepat dimana bahu kananku jadi tempat tenggelamnya separuh wajahmu. Hawa dingin menusuk yang kurasa kini berubah jadi tidak berarti. Sesekali –maaf refleks– tangan kiriku membelai kepalamu. Aku begitu menikmati perjalanan pulang ini, dan berharap kisah ini akan melambung hingga titik terjauh yang tidak pernah dibayangkan setiap manusia.
Waktu terus berjalan, hubungan antara kita juga semakin mendalam. Saling memberi kabar, saling memberi perhatian, saling menemani, saling bertukar pikiran, namun perasaanku tak kunjung menjumpai kenyataan. Padahal umpan-umpan yang kau berikan agar aku membuka perasaan yang sebenarnya telah banyak. Tetapi karena ego (apakah ego itu ada? Aku tidak tahu!) yang berlebihan, aku memilih untuk menjaga dan membiarkan perasaanku tumbuh terbengkalai lalu membusuk di dalam tubuhku. Sebab aku tidak tahu harus bersikap bagaimana kepadamu. Aku memang tolol. Pantas saja sekarang kau memilih menjauh dan tak mau lagi terlibat dengan kehidupanku.
Halaman : 1 2 Selanjutnya