Oleh: Pepih Nugraha
MELIHAT Sumiati berkacak pinggang dengan percikan wajah permusuhan atau penolakan, reaksi tak terduga Sofiah adalah menghentikan langkahnya, bahkan menarik lengan Hamdani mundur. Takut.
Hamdani sekilas memandang wajah Sofiah, terperangah manakala melihat perubahan yang terjadi secara cepat. Apakah orang sakit ingatan punya rasa takut, gumamnya.
“Sampurasun, Emak, izinkan aku dan Sofiah masuk!”
Hamdani menahan Sofiah yang terus menarik lengannya untuk mundur menjauh sambil melihat reaksi dan perubahan wajah emaknya. Akan tetapi, Sumiati tetap memasang wajah tegang.
“Kurasa perempuan sinting itu lebih paham penolakanku, Hamdan,” teriak Sumiati, telunjuknya mengarah pada Sofiah yang terus menarik lengan Hamdani untuk mundur. “Sedang kau yang waras tak memahaminya!”
“Aku ada sedikit rezeki buat emak, mana tahu bermanfaat,” kata Hamdani sambil tetap menahan tarikan lengan Sofiah. “Sekaligus aku ingin bersilaturahmi, aku kangen, Mak.”
“Kupikir aku tidak keberatan menerimamu masuk kembali ke rumah ini, Hamdan,” kata Sumiati, “asalkan tidak bersama perempuan sinting itu!”
Mendadak geledek meledak di kepala Hamdani manakala mendengar perkataan emaknya barusan. Tubuhnya bergetar, hatinya remuk redam, jiwanya terguncang, mulutnya terkunci, tetapi ia tetap menahan diri untuk tidak meledakkan amarahnya.
Mendengar ada keributan dan teriakan yang tidak biasa, Sopandi tergopoh-gopoh keluar dari dalam rumah panggung itu, berniat untuk membuka pagar bambu yang terkunci dari dalam tatkala melihat anaknya masih berada di luar pintu pagar.
“Kemarilah, Anakku!” katanya spontan seraya berjalan membukakan pintu pagar. Tetapi, Sumiati lekas menahan suaminya, bahkan mendorongnya sampai terjatuh.
“Jangan bukakan pintu buat anak perempuan Tosari yang sakit ingatan itu!” teriak Sumiati, “Kau sendiri saja yang masuk kemari, Hamdan!”
“Terbuat dari apa hatimu itu, Sumiati,” kata Sopandi yang berusaha untuk berdiri kembali, kali ini ia berani bicara. “Bagaimanapun Sofiah itu juga anak kita, menantu kita.”
“Apa? Anak kita? Menantu kita!? Kau saja yang pungut perempuan sinting itu jadi anakmu atau menantumu, aku tak sudi,” pekik Sumiati kepada suaminya. “Kau tahu, tidak ada anak paling dungu di dunia ini selain Si Hamdani ini, kurang apa Rodiah yang memberikan perhatian kepadanya, eeehh… dia malah memilih lonte sinting!”
Pantang bagi Hamdani menangis -menitikkan air mata- sesedih atau setragis apapun peristiwa yang menimpanya. Tetapi, tidak untuk kali ini.
Ia sama sekali tidak menduga akan mendapat perlakuan semacam itu dari emaknya untuk yang kedua kali, yang ia pikir sudah berubah sikap seiring berjalannya waktu. Ternyata waktu tidak mampu mengubah sikapnya sedikit saja. Setitik air hangat menggenang di pelupuk mata Hamdani. Lalu Jatuh.
Hamdani mengusap air bening itu dengan punggung tangannya.
“Baiklah, Emak, aku paham…,” katanya dengan suara bergetar sambil merogoh saku celananya, mengeluarkan lembaran rupiah berwarna merah. “Terimalah ini, sedikit rezeki buat emak, mana tahu bermanfaat.”
Sumiati tiba-tiba setengah berlari ke depan pintu pagar yang tak pernah dibukanya. Secepat kilat ia menyambar lima lembar rupiah berwarna merah dari tangan anaknya. Kini lembaran rupiah itu sudah berada di tangannya, kemudian ia membenamkan lembaran berharga itu di balik kutangnya.
“Kubilang tadi kamu boleh masuk ke rumah ini jika tanpa dia!” katanya dengan telunjuk yang tetap terarah pada Sofiah.
Meski kangen kepada emaknya, Hamdani mundur perlahan-lahan dengan mata menatap emak-bapaknya di balik pagar, apalagi Sofiah terus menarik lengannya. Kini ia melemaskan lengan kekarnya agar bisa ditarik Sofiah tanpa berusaha menahannya lagi seperti tadi.
Hamdani mengajak Sofiah kembali ke dangau itu lagi, menyisakan luka hati yang menganga.
Dari balik semak-semak yang tidak jauh dari rumah pasangan Sopandi dan Sumiati, diam-diam seorang perempuan muda mengendap-endap tanpa terlihat orang lain. Sesekali jemarinya menyibak semak-semak membuat celah agar tatapannya bisa melihat langsung pemandangan yang tepat berada di depannya. Tetapi manakala Hamdani dan Sofiah lewat di depan semak-semak itu, ia semakin merundukkan kepalanya agar tidak terlihat.
Demikian sering perempuan muda itu memperhatikan –tepatnya mengintip- pasangan Hamdani dan Sofiah secara diam-diam, termasuk pada saat kemunculan hari pertama pasangan itu di pasar kecamatan, saat Hamdani menjual celeng ke Koh Ahong, juga pada hari-hari pasar lainnya saat Hamdani menjual sarang lebah dan rebung hutan.
Halaman : 1 2 Selanjutnya