Perempuan pengintip itu adalah Rodiah.
Di tempat terpisah, Dianti, terlibat dalam diskusi serius dengan dosen psikologi terapannya, Doktor Satrio. Ia melaporkan hasil penelitiannya yang belum tuntas kepada dosen sekaligus pembimbing skripsinya. Kali ini diskusi berlangsung di sebuah ruangan perpustakaan fakultas. Hal pertama yang Dianti laporkan adalah asumsinya mengenai konsep “bukan cinta biasa”.
“Ingat ya, Erich Fromm itu menelaah cinta sebagai situasi permanen, abadi, lawan dari jatuh cinta temporer sebagaimana pasangan pria-wanita, yang pelakunya kadang menjadi tidak berdaya dalam menghadapi cinta,” kata Satrio membuka diskusi. “Kira-kira, kamu masukkan jenis cinta apa cintanya Hamdani kepada Sofiah, objek yang kamu teliti itu?”
Dianti paham, pertanyaan dosennya itu sangat berat untuk dijawab, sebab sudah berbau filsafat. Tetapi segera paham, ia melakukan penelitian untuk menemukan fakta baru, temuan mutakhir, tidak sekadar mengiyakan teori lama. Bila perlu, ia akan menantang teori lama dengan bukti-bukti baru atas temuannya itu. Ia tidak perlu mengumbar teori di sini, apalagi berdebat tentang buku-buku berat.
“Atas hasil wawancara yang belum tuntas dengan objek penelitian, saya sementara berasumsi bahwa cinta tidak semata-mata satu-satunya jawaban rasional kebutuhan seseorang untuk mengatasi keterpisahan, keterasingan, ketersendirian, sebagai masalah mendasar keberadaan manusia, ya kita-kita inilah, Pak,” kata Dianti.
“Lalu cinta apa yang kamu maksud, apakah jenis cinta yang mungkin lupa dibahas Erich Fromm dalam buku ‘The Art of Loving’ itu?” tanya Satrio agak sinis, tetapi ia tetap meladeni Dianti dengan penuh rasa hormat layaknya guru terhadap muridnya.
“Saya teringat kata-kata Fromm tentang keberanian seseorang yang besar, kerendahan hati yang sejati, iman yang kuat, dan disiplin yang tinggi yang memungkinkan seseorang mampu mencapai kapasitas untuk mengalami cinta sejati.” kata Dianti.
“Lalu?”
“Bagi saya, Hamdani masuk kepada golongan manusia pecinta macam ini, ia telah melakukan pencapaian yang langka, ia telah mengalami cinta sejati itu.”
“Apakah cinta sejati itu butuh penerimaan atau balasan? Bagaimana kalau Sofiah adalah pasangan yang memaksa Hamdani bertepuk sebelah tangan? Apakah cinta Hamdani masih bisa disebut cinta sejati juga?”
“Kondisi yang identik dengan cinta sejati orangtua kepada anaknya,” kata Dianti, “Ini jenis cinta yang tak perlu balasan, bukankah itu juga cinta sejati?”
“Cinta sejati orangtua kepada anaknya tidak memerlukan relasi seksual sebagai pelepasannya, apakah ini terjadi pada Hamdani?”
“Untuk sementara saya berani mengatakan ‘ya’, meski ini baru asumsi, Pak.”
“Jadi cinta Hamdani kepada Sofiah bukan semata-mata untuk urusan seks?” cecar Satrio.
“Yang saya pahami begitu.”
Lalu apa yang Hamdani kejar dari seorang Sofiah kalau bukan untuk urusan relasi seksual?”
“Jika Fromm berpendapat bahwa karakter aktif cinta sejati itu melibatkan empat elemen dasar, yaitu perhatian, tanggung jawab, rasa hormat, dan pengetahuan, saya kira Hamdani memiliki semua karakter itu.”
“Pertanyaan saya, apa yang Hamdani kejar dari seorang Sofiah kalau bukan untuk urusan seks?”
Dianti berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan ini, kemudian….
“Bagi Hamdani, seks adalah subordinat dari sikap yang sudah sedemikian langka dimiliki seorang pria, yaitu tanggung jawab moral. Tidak ada yang memintanya bertanggung jawab, bahkan Sofiah, tetapi Hamdani punya tanggung jawab itu,” kata Dianti.
“Wellll, menarik….”
“Apakah Bapak menduga bahwa selama Hamdani hidup mendampingi Sofiah di dangau yang sepi dan terpisah dari keramaian itu semata-mata urusan seks?” kata Dianti dengan nada bertanya. “Bagi lelaki waras, menyetubuhi perempuan sakit jiwa sama saja dengan menggauli boneka tak bernyawa, dan itu bukan Hamdani.”
“Hemmm…. bagaimana kamu bisa seyakin itu, Dianti?”
(Bersambung)
Halaman : 1 2