Oleh : Pepih Nugraha
SIANG itu perkuliahan Psikologi Terapan sudah usai, sebuah mata kuliah berupa penggunaan metoda psikologi untuk memecahkan masalah praktis dari prilaku dan pengalaman manusia.
Hampir seluruh mahasiswa sudah ngacir memburu pintu keluar sesaat setelah dosen menyatakan kuliah hari ini dinyatakan usai, kecuali seorang mahasiswi.
Dianti.
Mahasiswi ini sengaja membelakangkan diri berada di ruang kuliah, bahkan duduk sendiri di kursi tengah, sampai seluruh mahasiswa benar-benar tak bersisa.
“Kamu kok belum pulang, Nona?” tanya Satrio, dosen yang baru tiga bulan lalu menyelesaikan program doktoralnya di Amerika Serikat saat membereskan risalah materi perkuliahannya.
“Sebagaimana yang saya tulis di pesan WA tempo hari, saya ingin diskusi untuk sebuah persoalan psikologi,” kata si mahasiswi.
“Oh ya, sayalah Dianti, penulis pesan itu, maaf sebelumnya kalau mengganggu Bapak.”
Satrio turun dari podium, berjalan mendekat si mahasiswi melalui deretan bangku depan yang kini sudah kosong. Dosen itu kini sudah berada persis di depannya. “Ah, kau ini Dianti rupanya.”
“Ya, Pak,” jawab Dianti. “Saya tahu persis Bapak, tetapi Bapak belum tentu tahu satu persatu mahasiswanya, bukan? Untuk itulah saya memperkenalkan diri sekaligus menyampaikan keinginan untuk dialog khusus jika Bapak berkenan.”
“Jadi, apa persoalanmu, Dianti?”
“Tentang kasus percintaan, Pak,” jawab Dianti sambil menyempurnakan letak kacamata minus duanya, “Percintaan yang menurut saya bukan cinta biasa.”
Satrio mengunyah kata-kata si mahasiswi sebelum angkat bicara, “Ah, seperti judul lagu saja, Dianti, jangan-hangan kamu ini sedang jatuh cinta, lalu tiba-tiba ingin berdiskusi tentang masalah itu.”
“Saya sudah terlalu sering jatuh cinta, Pak, bahkan sudah bonyok,” kelakar Dianti yang menyambar tawa dosen “killer”-nya itu.
“Kalau begitu, ceritakanlah lebih detail….!!”
Dianti kemudian menceritakan pengalalaman faktual tentang adanya pernikahan “yang tak biasa” di sebuah desa buah dari “cinta yang tak biasa” juga, yaitu pernikahan Hamdani dan Sofiah yang ia saksikan beberapa waktu lalu. Dianti mengaku hadir di masjid Al-Kautsar, tempat ijab kabul pernikahan dilakukan, meski sekadar menjadi salah satu pengunjung saat kuliah kerja nyata.
Dianti juga bercerita tentang betapa senjangnya usia antara Hamdani dengan Sofiah yang lebih pantas menjadi kakaknya itu. Terlebih lagi, mengapa Hamdani sedemikian mencintai Sofiah yang jelas-jelas punya masa lalu yang kelam, bahkan sempat terperangkap di dunia hitam.
Lebih dari itu semua, Dianti menegaskan bahwa Sofiah adalah perempuan muda yang sedang menderita sakit jiwa.
“Jadi apanya yang aneh?” tanya Satrio dengan tatapan elangnya, tatapan yang kini penuh gugatan.
“Cinta itu, Pak,” jawab Dianti cepat, “ini semua tentang cinta.”
“Semua orang punya cinta, termasuk Hamdani yang kamu ceritakan itu, apa anehnya?”
“Tetapi ini bukan cinta biasa, Pak!”
“Jadi maksudmu ini cinta luar biasa?” gugat Satrio masih menancapkan tatapan elangnya. Jelas, ia terpancing dan semakin ingin meladeni si mahasiswi. “Apanya yang luar biasa?”
“Pengorbanannya, Pak,” sambar Dianti, “pengorbanan yang luar biasa!”
“Nah, kau harus mencari dan menemukan parameter ‘pengorbanan yang luar biasa’ itu apa sebelum benar-benar memahami cinta yang tidak biasa pemuda itu!” kata Satrio.
Hening sejenak sebelum dosen bergelar Doktor itu melanjutkan, “Kamu paham tentang Oedipus Complex, bukan?”
Halaman : 1 2 Selanjutnya