Oleh : Goenawan Muhammad
BALIHO adalah sebuah ringkasan. Melihat di pelbagai kota wajah-wajah para politisi dipasang di sepanjang jalan dalam pigura persegi panjang berukuran besar, kita bisa membaca banyak hal pada masing-masing potret itu:
(1). Hasrat agar dikenal.
(2). Hasrat diingat.
(3). Ambisi.
(3). Narsisme.
(4). Sedikit kebohongan —yang dianggap wajar seperti iklan.
(5). Apa yang dalam bahasa Inggris disebut “mediocrity.”
Semua itu termaktub — diringkas — dalam satu bidang. Wajah-wajah itu disajikan dengan sedikit sekali variasi, mirip sejumlah serabi dalam tampah. Yang pria berpeci, yang perempuan berjilbab atau berkebaya bagus. Ekspresi dan senyumnya (kalau ada) terbatas.
Tatapan ke depan kosong seperti foto KTP. Tak tampak sifat unik tiap pribadi. Meskipun para politisi itu memperlakukan jalan raya seperti “fan-page” mereka di Facebook, mereka tak mau terang-terangan pamer tetek bengek pribadi. Mereka hanya tampak menyukai wajah mereka sendiri.
Di baliho itu, mereka manusia rata-rata. Di sini “mediocrity” berarti sifat “sedang-sedang-saja” — yang justru mudah ditawarkan. Sebuah paradoks dalam demokrasi kita: di deretan baliho itu persaingan dalam pemilihan tak ditandai jor-joran untuk menonjol.
Saya belum pernah melihat sebuah baliho dengan gambar tokoh yang mengenakan mahkota emas dengan dada telanjang, atau memakai topi hitam bajak laut, atau berjilbab dengan alis dicat merah dan gincu ungu di bibir. Yang dihadirkan adalah serabi demi serabi datar yang tak kita bisa tebak seberapa manis, seberapa gurih, seberapa renyah.
Wajah-wajah itu memproyeksikan stabilitas. Latarnya netral menyarakan suasana tenang yang mudah dihadapi.
Tentu saja semua itu semu. Sebab wajah-wajah di baliho itu sebenarnya sederet siluman dari hasrat untuk diakui dan ambisi berkuasa — versi yang lunak dari raut muka raja yang sedang hendak merebut wilayah.
Halaman : 1 2 Selanjutnya