Koreografi Kekuasaan

Redaksi

- Jurnalis

Selasa, 30 Juli 2024 - 08:39 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh : Made Supratma

SODARA tentu masih ingat ketika dia berkata semuanya belum siap. Listriknya apa sudah siap? Airnya apa sudah siap? Begitu dia bertanya ketika itu.

Dia tahu bahwa proyek ambisiusnya, yakni memindahkan ibukota negara dalam waktu singkat, tidak akan berhasil. Dia sudah memecat kepala dan wakil otoritanya.

Dia menyuruh orang kepercayaannya menanganinya. Dalam arti, menangani untuk mempertontonkan apa yang bisa dipertontonkan. Paling tidak tontonan yang pas masuk di layar hape dan TV serta foto2 di koran.

Kemudian dia sadar bahwa dia tidak memproyeksikan kegagalan. Tidak, dia tidak boleh terlihat gagal. Namun, sukses jelas tidak akan tercapai. Tidak akan mungkin proyek ini akan jadi hanya dalam waktu 90 hari. Itu hil yang mustahal, kata almarhum Asmuni, pelawak Srimulat.

Lalu bagaimana jalan keluarnya?

Saya hapal betul caranya berkuasa selama hampir 10 tahun terakhir. Ketika dihadapkan pada kesulitan, dia biasa mempertontonkan sesuatu yang bisa mengalihkan perhatian. DIa seolah sadar bahwa dalam dunia politik modern yang dibutuhkan adalah perhatian.

Politik perhatian. Yakni, bagaimana orang tidak fokus pada kekurangan atau kelemahan. Namun bukan berarti kekurangan atau kelemahan itu harus dieliminasi. Kalau bisa bagaimana menjadi kekurangan itu sebagai kelebihan. Bagaimana membuat kelemahan menjadi kekuatan. Dalam hal ini, harus diakui, dialah kampiunnya.

Misalnya, ketika di awal-awal kekuasaannya, dia tidak memiliki potongan untuk menjadi presiden. Dia kurus dengan penampilan ndeso. Ada yang mengejeknya, plonga-plongo. Orang mengejeknya kiri kanan. Tanggapannya adalah “Aku rapopo!”

Ia menelan ejekan-ejekan itu dan kemudian memuntahkannya balik kepada pengkritiknya. Para pendukungnya menjadi kagum dan terharu biru. Kalangan rakyat bawah kemudian merasa ‘terwakili’ karena toh ada orang yang plonga-plongo mewakili dirinya.

Banyak orang tidak mengerti bahwa itulah inti dari populisme. Yakni memainkan perasaan dengan pura-pura menjadi lemah seperti rakyat kecil, tidak elitis, tidak kelihatan terlalu pintar, dan menimbulkan belas kasihan. Itulah yang membuat pendukungnya menjadikannya ‘kultus’ dan dari sana juga dia yakin bahwa ia tidak akan terkalahkan.

Seringkali dia melawan kekuatan dengan mengeksploitasi yang lemah. Dalam krisis-krisis, dia muncul bermain dengan cucunya yang lucu. Untuknya, tidak ada batas dalam politik. Bahkan anggota keluarga yang imut pun bisa menjadi pion kekuasaan.

Follow WhatsApp Channel www.kabarbenggawi.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Rekomendasi untuk Anda

Ketidaknetralan ASN dalam Pilkada Banggai Laut, Ancaman bagi Demokrasi Lokal
Menuju Bangkep Emas 2030, Peluang dan Tantangan
Kepala Desa Bukanlah Raja Yang Berkuasa
Banjir dan Perda RTRW, Sebuah Refleksi Bencana Berulang Banggai Laut
Harapan Orang Desa Di Marka Jalan Eoforia Politik 2024
Tadarus Demokrasi: Menghadapi Derasnya Informasi Ditahun Politik
Menilisik Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
Omnimbus Law UU Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat
Berita ini 69 kali dibaca
Tag :

Rekomendasi untuk Anda

Selasa, 26 November 2024 - 07:00 WITA

Ketidaknetralan ASN dalam Pilkada Banggai Laut, Ancaman bagi Demokrasi Lokal

Jumat, 18 Oktober 2024 - 15:44 WITA

Menuju Bangkep Emas 2030, Peluang dan Tantangan

Selasa, 30 Juli 2024 - 08:39 WITA

Koreografi Kekuasaan

Rabu, 10 Juli 2024 - 10:19 WITA

Kepala Desa Bukanlah Raja Yang Berkuasa

Jumat, 5 Juli 2024 - 10:43 WITA

Banjir dan Perda RTRW, Sebuah Refleksi Bencana Berulang Banggai Laut

Berita Terbaru

Banggai Laut

Fix Tak Lolos PPPK Tahap I Akan Jadi PPPK Paruh Waktu

Kamis, 23 Jan 2025 - 12:54 WITA