Oleh: Pepih Nugraha
“Ini sandiwara atau benar-benar terjadi?”
“Ini nyata, bukan sandiwara, ini benar-benar terjadi.”
“Bagaimana bisa orang waras menikah dengan orang sinting?”
“Kalau bukan karena itu, tidak mungkin aku repot-repot datang ke sini!”
Percakapan warga mengalir di seputar Al-Kautsar.
Masjid di kampung itu hanya cukup menampung 200 jamaah, tetapi pada pagi hari sudah disesaki hadirin dua kali lipat daya tampung. Mereka bukan akan menunaikan salat atau mendengar pengajian ustad kondang, melainkan sekadar ingin menyaksikan ijab kabul pernikahan antara Hamdani dan Sofiah. Mereka anggap ini peristiwa yang tidak biasa.
Rata-rata orang tidak percaya, bagaimana mungkin pengantian pria yang waras menikahi perempuan yang ingatannya sedang terganggu. Itulah drama kehidupan, sebab pernikahan pasangan pengantin waras sudah tak terbilang dan sama sekali tidak pernah membetot perhatian warga sebanyak ini. Untuk drama yang satu inilah mereka datang ke satu titik, Masjid Al-Kautsar.
Kerumunan warga menantikan detik-detik bersejarah itu.
Dari arah utara, tiba-tiba seorang perempuan muda datang tergopoh-gopoh. Agak terlambat. Saat berjalan menuju ke pusat keramaian, ia sedikit mengangkat roknya agar lebih leluasa melangkah. Wajahnya masam, tertekuk pula, melunturkan sari manis mukanya. Keringat di kening bercucuran, mungkin agak kecapekan menuju masjid itu setelah diturunkan tukang ojek di muara jalan setapak.
“Mana Si Keparat Hamdani itu!?” teriaknya kepada kerumunan.
Sontak orang-orang mengalihkan pandang sesaat kepadanya. Perempuan muda itu bermaksud menerabas kerumunan agar bisa masuk ke dalam masjid, tetapi pagar betis manusia yang berdiri menonton berlapis-lapis, tidak cukup kuat untuk ia labrak. Orang-orang tidak sudi memberi jalan kepada yang datang terlambat.
“Kurang ajar kau, Hamdani, berani-beraninya ingkar janji!”
Perempuan muda itu terus berteriak.
Di dalam masjid, terjadilah peristiwa yang sesungguhnya sudah bisa diduga sejak awal, bahkan oleh Pak Lebe dari KUA yang menikahkan kedua mempelai. Bukan soal perwalian atau aturan negara, lebih kepada Sofiah, pengantin perempuan itu. Ia gagal menjawab ijab kabul dan sumpah setia pengantian pria, padahal cukup menjawab, “diterima” sebagai bukti tanda sahnya pernikahan.
Tetapi itu tidak pernah terjadi.
Berkali-kali Hamdani mencoba berucap pemberian maskawin berupa seperangkat alat salat, tidak pernah dijawab pengantin perempuan. Jawabannya kadang bengong dengan mata kosong, kadang umpatan, dan lebih sering nyanyian. Ini adalah kelucuan tiada tara yang mengundang tawa hadirin, bahkan ada yang sampai terkencing-kencing.
Udin, Pak Lebe itu, tampak berembug dengan para saksi, juga Hamdani selaku pengantin pria. Berkali-kali petugas KUA itu tampak menggeleng-gelengkan kepala dan berkali-kali pula si pengantin pria meminta perkawinan itu segera disahkan saja, kendati tidak ada jawaban dari pengantin perempuan.
“Dalam hatinya saya yakin Sofiah menerima ijab kabul saya, Pak Lebe,” kata Hamdani memecah kesunyian usai tawa hadirin reda. “Hanya ia tidak mampu mengucapkannya.”
Hadirin menarik napas. Mata petugas KUA itu saling bersitatap dengan saksi. Sofiah berdiri dan mulai meliuk-liukkan tubuhnya menari erotis. Hamdani membujuknya untuk duduk, menarik lengannya dengan lembut dan hati-hati.
Halaman : 1 2 Selanjutnya