Perempuan Penyapu Halaman [4]
Oleh: Pepih Nugraha
“Ini sandiwara atau benar-benar terjadi?”
“Ini nyata, bukan sandiwara, ini benar-benar terjadi.”
“Bagaimana bisa orang waras menikah dengan orang sinting?”
“Kalau bukan karena itu, tidak mungkin aku repot-repot datang ke sini!”
Percakapan warga mengalir di seputar Al-Kautsar.
Masjid di kampung itu hanya cukup menampung 200 jamaah, tetapi pada pagi hari sudah disesaki hadirin dua kali lipat daya tampung. Mereka bukan akan menunaikan salat atau mendengar pengajian ustad kondang, melainkan sekadar ingin menyaksikan ijab kabul pernikahan antara Hamdani dan Sofiah. Mereka anggap ini peristiwa yang tidak biasa.
Rata-rata orang tidak percaya, bagaimana mungkin pengantian pria yang waras menikahi perempuan yang ingatannya sedang terganggu. Itulah drama kehidupan, sebab pernikahan pasangan pengantin waras sudah tak terbilang dan sama sekali tidak pernah membetot perhatian warga sebanyak ini. Untuk drama yang satu inilah mereka datang ke satu titik, Masjid Al-Kautsar.
Kerumunan warga menantikan detik-detik bersejarah itu.
Dari arah utara, tiba-tiba seorang perempuan muda datang tergopoh-gopoh. Agak terlambat. Saat berjalan menuju ke pusat keramaian, ia sedikit mengangkat roknya agar lebih leluasa melangkah. Wajahnya masam, tertekuk pula, melunturkan sari manis mukanya. Keringat di kening bercucuran, mungkin agak kecapekan menuju masjid itu setelah diturunkan tukang ojek di muara jalan setapak.
“Mana Si Keparat Hamdani itu!?” teriaknya kepada kerumunan.
Sontak orang-orang mengalihkan pandang sesaat kepadanya. Perempuan muda itu bermaksud menerabas kerumunan agar bisa masuk ke dalam masjid, tetapi pagar betis manusia yang berdiri menonton berlapis-lapis, tidak cukup kuat untuk ia labrak. Orang-orang tidak sudi memberi jalan kepada yang datang terlambat.
“Kurang ajar kau, Hamdani, berani-beraninya ingkar janji!”
Perempuan muda itu terus berteriak.
Di dalam masjid, terjadilah peristiwa yang sesungguhnya sudah bisa diduga sejak awal, bahkan oleh Pak Lebe dari KUA yang menikahkan kedua mempelai. Bukan soal perwalian atau aturan negara, lebih kepada Sofiah, pengantin perempuan itu. Ia gagal menjawab ijab kabul dan sumpah setia pengantian pria, padahal cukup menjawab, “diterima” sebagai bukti tanda sahnya pernikahan.
Tetapi itu tidak pernah terjadi.
Berkali-kali Hamdani mencoba berucap pemberian maskawin berupa seperangkat alat salat, tidak pernah dijawab pengantin perempuan. Jawabannya kadang bengong dengan mata kosong, kadang umpatan, dan lebih sering nyanyian. Ini adalah kelucuan tiada tara yang mengundang tawa hadirin, bahkan ada yang sampai terkencing-kencing.
Udin, Pak Lebe itu, tampak berembug dengan para saksi, juga Hamdani selaku pengantin pria. Berkali-kali petugas KUA itu tampak menggeleng-gelengkan kepala dan berkali-kali pula si pengantin pria meminta perkawinan itu segera disahkan saja, kendati tidak ada jawaban dari pengantin perempuan.
“Dalam hatinya saya yakin Sofiah menerima ijab kabul saya, Pak Lebe,” kata Hamdani memecah kesunyian usai tawa hadirin reda. “Hanya ia tidak mampu mengucapkannya.”
Hadirin menarik napas. Mata petugas KUA itu saling bersitatap dengan saksi. Sofiah berdiri dan mulai meliuk-liukkan tubuhnya menari erotis. Hamdani membujuknya untuk duduk, menarik lengannya dengan lembut dan hati-hati.
Ajaib, tidak ada tawa hadirin yang seharusnya pecah melihat kelucuan ini. Hening. Sepi. Hanya terdengar tarikan napas saja. Diam-diam beberapa di antara mereka menitikkan air mata, padahal tidak ada kesedihan yang tergelar di depan mata mereka.
“Sudahlah, Pak Lebe, sahkan saja pernikahan ini,” kata seseorang dari belakang yang tidak lain dari Kuwu Syarif, tokoh desa juga. “Sayalah nanti yang bertanggung jawab.”
“Setujuuuuu….!!” tanpa aba-aba, suara hadirin bergemuruh riuh.
“Begini saja,” Pak Lebe angkat bicara. “Secara negara, pernikahan ini belum sah.”
Sontak terdengar bunyi berdengung hadirin, “Huuuuu…..!!”
Lebe melanjutkan, “Tetapi secara adat kampung, kita sahkan saja pernikahan ini, sebab Pak Kuwu yang hadiri di sini pun sudah setuju, betul?”
“Horeeee….!!!” kembali terdengar gemuruh hadirin.
Diam-diam jemari tangan kanan Hamdani meraih jemari kiri Sofiah, menumpukan di atas punggung tangannya. Ia mencuri pandang “kakak”-nya itu, sementara yang dipandang melengos, bergumam tanpa makna. Juruwarta yang cekatan mengabadikan peristiwa ini dengan tustelnya.
Meski wajahnya masih mengguratkan rasa kecewa, tetapi Hamdani merasa lega untuk sementara. Ia menarik napas panjang dan melirik lagi Sofiah yang kali ini mulai menyanyi lagi…
“diriku musafir lalu, lama hatiku beku
‘kan kusebar berita ini, aku cinta padamu…”
Sedikit legalah hati Hamdani, sebab ia tidak peduli pernikahan ini disahkan negara atau tidak, memperoleh surat nikah dari KUA atau tidak, yang lebih penting ia bisa bersama Sofiah tanpa dibayangi dugaan orang-orang menyalahi hukum dan adat. Ia ingin mengobati Sofiah dengan caranya sendiri.
Dianti, mahasiswi psikologi yang sedang kuliah kerja nyata di kampung sebelah dan bermaksud membedah perasaan Hamdani, diam-diam ikut menarik napas. Sejak tadi pagi ia sudah berbaur di antara ratusan hadirin. Mahasiswi berwajah oriental ini tiba-tiba menitikkan air mata, entah apa yang membuatnya bersedih.
Prosesi pernikahan itu berakhir.
Hadirin yang berada di dalam masjid satu persatu keluar, tetapi belum benar-benar meninggalkan lokasi itu. Mereka seolah-olah ingin mengantar kembali kedua mempelai ke rumah Tosari, rumah orangtua Sofiah. Tetapi tadi Tosari berpesan kepada istrinya bahwa ia tidak sudi lagi menerima anak perempuan satu-satunya kembali.
Membawa pengantin perempuan ke rumah orangtua Hamdani? Sejak ia berterus terang ingin menikahi Sofiah, Sumarti, emak Hamdani, menyatakan tidak sudi menerima menantu perempuan sinting. Ia siap-siap mengungsi ke kampung tetangga kalau sampai anaknya itu memaksakan diri. Kecuali Sopandi, ayahnya, yang lebih lunak dan tidak menunjukkan penolakan terbuka.
Perlahan-lahan Hamdani berdiri, menuntun Sofiah dengan sangat hati-hati ke luar dari masjid. Pak Lebe dan Pak Kuwu sudah lebih awal meninggalkan tempat itu. Beruntung, Sofiah tampak menurut, meski sesekali ia mengumpat menyebut sejumlah nama.
Baru saja pasangan pengantin itu ke luar dari masjid dan berdiri di halaman, seorang perempuan muda menyeruak dari kerumunan. Wajah tersaput angkara, napas turun-naik menahan amarah, sedang telunjuk terarah kepada Hamdani.
“Bajingan kau, Hamdan, dasar lelaki tak tahu diri!” (Bersambung)
Pepih Nugraha