Perempuan Penyapu Halaman [7]

- Jurnalis

Sabtu, 20 Maret 2021 - 21:04 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh: Pepih Nugraha

Malam pertama yang aneh. Dangau itu menyimpan senyap yang luar biasa. Begitu yang Hamdani rasakan. Sesungguhnya ia sudah sedemikian akrab dengan suasana magis malam hening di pedesaan semacam ini, tetapi tidak untuk kali ini. Hatinya tercekam sendiri.

Bukan takut setan, jin, jurig, ririwa dan sebangsanya, yang konon surga mereka adalah kegelapan seperti ini, lebih karena keterasingan yang tidak biasa saja meski ia bertemankan seorang perempuan.

Ada rasa takut yang menekan, karena tanggung jawab yang harus dipikul, pun tiada seorangpun yang menuntutnya.

Hamdani senandika dengan dirinya sendiri tanpa suara, ia tidak tahu kapan kembara lahir maupun batinnya ini akan berakhir.

Tidak ada penerangan obor atau dian malam itu, cukup cahaya rembulan saja yang menerabas pepohonan dan hutan cemara sebelum sampai ke dangau itu. Bayangan panjang Hamdani tampak jelas saat berdiri, menciptakan kengerian tersendiri.

Hamdani membiarkan bara di dalam tungku bekas menanak nasi tetap menyala. Selain menciptakan kehangatan, tiupan angin yang menerpa bara menerbitkan api. Api yang cukup menghangatkan suasana. Dangau pun menjadi benderang sesaat, juga hangat.

Malam pertama ini Sofiah tidak berselera makan, kendati Hamdani mencoba menyuapinya dengan menggunakan sendok aluminium yang ia bawa.

“Makanlah, Teh Sofi, nanti kamu masuk angin,” bujuk Hamdani mendekatkan sendok berisi nasi liwet ke mulutnya. Namun perempuan yang jiwanya sedang dikuasai malapetaka ini tetap menolak. “Kalau begitu, tidurlah, selepas tengah malam nanti aku bangunkan Teteh untuk mandi berendam di air terjun itu.”

Tidak ada jawaban. Sofiah kemudian menembang.

“Suaramu cukup merdu, Teh,” puji Hamdani. “Tetapi sekarang bukan waktunya nembang, sekarang waktunya tidur…. tidurlah!”

“aya hiji rupa sato leutik
engkang-engkang sok luluncutan di cai
ari wangunna rek sarupa jeung lancah…”

(“ada satu wujud hewan kecil
anggang-anggang suka berlompatan di air
sedangkan wujudnya menyerupai laba-laba…”)

Demikian tembang “ladrang” yang Sofiah senandungkan, sebuah nyanyian semenjana yang akrab di telinga anak-anak desa Malausma, desa di mana mereka tinggal. Syair tembang sederhana itu diulang-ulang karena memang hanya terdiri dari tiga bait saja, menciptakan suasana magis tersendiri.

Luas dangau hanya lebih besar dari tempat tidur untuk dua orang dewasa, sehingga saat menelantangkan badan, nyaris tak ada jarak antara Hamdani dengan Sofiah.

Ini malam pertama yang galibnya ada kegiatan sakral pasangan pengantin manapun, tetapi Hamdani membuang jauh pikiran itu. Tidak terpikir olehnya untuk mengulangi perbuatan pertama di dangau ini lima tahun lalu.

Apakah hasrat serta birahi orang sakit ingatan masih ada dan tersisa? Atau lenyap sama sekali dan rasa itu tidak pernah ada?

Hamdani lelaki normal, tentu ia punya hasrat dan berhasrat pada malam pertama ini, tetapi ia menikam hasrat itu sampai benar-benar terbunuh dan tidak pernah memikirkannya lagi. Kalaupun renjana itu ada, ia tidak akan tega melakukannya.

Hamdani paham, dalam kuasa petaka jiwa semacam itu, Sofiah sudah kehilangan hasrat binalnya sebagai seorang perempuan. Jiwa yang terguncang akibat petaka telah melenyapkan birahinya.

Kini tinggal seonggok daging dan tulang yang Hamdani hadapi, tulang dan daging yang bernyawa, tetapi tanpa jiwa.

Tatkala sunyi mendaulat suasana tersebab Sofiah sudah kelelahan menembang atau mengumpat, tubuh perempuan itu tergolek di dangau, menyisakan keindahan seorang perempuan.

Perlahan-lahan Hamdani mengikat salah satu kaki Sofiah menggunakan syal penutup leher. Kemudian ujung syal satunya lagi diikatkan ke kakinya. Upaya ini dimaksudkan untuk mencegah Sofiah melarikan diri, di mana kapan-kapan bisa ia lakukan saat Hamdani lengah.

Ketika Hamdani mendengar napas lembut yang teratur seorang perempuan di sampingnya, ia seolah-olah tersihir dan terbawa hanyut suara itu sehingga kantuk pun datang menyerang.

Berkali-kali ia menguap. Matanya menatap langit-langit yang bolong karena atap daun kelapa kering sudah rontok di makan usia. Dengan menggunakan tangan kanan sebagai bantal, Hamdani memandang bulan di atas atap, sedikit terhalang pohon randu yang tumbuh di dekat dangau.

Angin akhir November melintaskan bayangan persis lima tahun lalu, saat kali terakhir Hamdani bertemu Sofiah, beberapa pekan selepas peristiwa dangau yang bersejarah itu terjadi….

Rentang waktu itu demikian indah baginya, seindah mawar liar yang tumbuh di kaki bukit. Kemana saja Hamdani melangkah, bayangan indah Teh Sofi, perempuan yang pantas sebagai kakaknya itu tertanam dan tumbuh subur dalam ingatannya. Ke mana kaki melangkah, bayangan itu terus menguntitnya.

Follow WhatsApp Channel www.kabarbenggawi.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Rekomendasi untuk Anda

FTBM Banggai Laut: Membumikan Literasi di Banggai “Tano Monondok”
Forum Taman Bacaan Masyarakat : Hadirkan Rangkaian Kegiatan Literasi di Banggai Laut
Candu Jawaban | CERPEN
Manifestasi Rindu | Puisi
CERPEN : Perempuan Penyapu Halaman [20]
CERPEN : Perempuan Penyapu Halaman [19]
CERPEN : Perempuan Penyapu Halaman [18]
CERPEN | Perempuan Penyapu Halaman [17]
Berita ini 0 kali dibaca

Rekomendasi untuk Anda

Rabu, 11 Oktober 2023 - 17:46 WITA

FTBM Banggai Laut: Membumikan Literasi di Banggai “Tano Monondok”

Kamis, 17 Agustus 2023 - 11:51 WITA

Forum Taman Bacaan Masyarakat : Hadirkan Rangkaian Kegiatan Literasi di Banggai Laut

Kamis, 15 September 2022 - 10:47 WITA

Candu Jawaban | CERPEN

Rabu, 14 September 2022 - 21:30 WITA

Manifestasi Rindu | Puisi

Rabu, 7 April 2021 - 22:00 WITA

CERPEN : Perempuan Penyapu Halaman [20]

Berita Terbaru

Advertorial

Bupati Sofyan Kukuhkan Empat Orang TPPD

Rabu, 8 Jan 2025 - 11:38 WITA