Oleh: Pepih Nugraha
Lelaki bertubuh gembur itu selalu bergerak lamban dalam kesehariannya, tetapi manakala seekor celeng dijatuhkan dari pundak Hamdani tepat dekat di kakinya, tak urung ia berjingkat, memperagakan gerakan silat shaolin yang pernah dikuasainya. Orang-orang yang berkerumun tertawa melihat tingkahnya.
“Haiyaaaa…. ada apa ini?” tanyanya setelah mampu menguasai keadaan. Matanya tertuju pada si pemikul celeng. Hamdani.
“Aku mau menjual celeng hasil berburu ini, Koh, siapa tahu berminat,” kata Hamdani menepuk-nepuk kedua telapak tangannya, seolah-olah membersihkan debu.
“Wah, pelsediaan daging celeng owe masih banyak di kulkas, balu kemalin owe beli di supelmalket,” kata Koh Ahong dengan lidah cadelnya. “Sekalang owe belum butuh.”
“Tapi celeng ini masih seger, Koh,” kata Hamdani meyakinkan, “Engkoh hanya perlu minta orang untuk memotongnya, jadilah kemudian daging celeng segar, bisa untuk persedian berminggu-minggu barangkali.”
Koh Ahong menggelengkan kepalanya pertanda tidak meminatinya. Hamdani menarik napas dalam, sedangkan Sofiah menggerutu tanpa makna seperti biasa di tengah kerumunan.
Padahal, satu-satunya harapan adalah mendapat uang dari hasil penjualan celeng ini. Uang yang diperlukan untuk kebutuhan sehari-hari, khususnya membeli barang keperluan Sofiah. Tidak mungkin Hamdani menjual celeng ke orang selain orang semacam Koh Ahong ini.
Celakanya, pria keturunan Tionghoa itu telah membalikkan badan dan tinggal punggung besarnya saja yang kelihatan, berjalan gontai masuk kembali ke tokonya. Orang-orang menarik napas kecewa. Tadinya mereka berharap ada keajaiban berupa kebaikan dari Koh Ahong untuk membeli celeng Hamdani.
“Koh,” kata Hamdani setengah berteriak.
Koh Ahong menghentikan langkah dan balik badan demi mendengar suara itu. Kembali ia menatap Hamdani yang masih berdiri dekat Sofiah, siap-siap menuntun Sofiah pergi setelah mendapat penolakan. Terlalu lelah jika ia harus membawa kembali celeng itu ke dangau.
“Kau ambil saja celeng ini buatmu, Koh, mana tahu bermanfaat,” kata Hamdani. Orang-orang semakin ramai berkerumun, bahkan di antara mereka sampai ada yang menitikkan air mata. Sedih.
Koh Ahong tidak pula mengiyakan atau menolak pemberian celeng itu. Ia terus masuk ke dalam tokonya mengambil sesuatu. Arkian, ia sudah keluar lagi membawa beberapa beberapa lembar rupiah berwarna merah di tangan.
“Kemali kau mendekat, Hamdan!” pintanya. Hamdani menurut, menuntun Sofiah lebih mendekat. “Namamu Hamdan, bukan?”
Hamdani mengangguk, “Ya, Koh, persisnya Hamdani.”
“Ya, aku pelnah baca kolan tentang peljuanganmu mengulus pelempuan sinting ini,” katanya. “Telutama ketulusanmu, jalang-jalang olang laki sepeltimu, sudah kagak ada. Kamu olang menjalani pelcintaan yang dahsyat, Sampek Eng Tay pun lewat.”
Hening sejenak, menunggu peristiwa apa lagi yang akan terjadi.
“Begini sajalah,” kata Koh Ahong memecah kesunyian. “Owe sekalang mau halgai peljuanganmu, Hamdani….”
Suasana menjadi hening lagi, bahkan cenderung mencekam di tengah keramaian.
“Maksud Koh Ahong?”
“Begini… owe jadi telima celeng pengasihmu ini, tetapi owe tidak mau membeli celeng ini.”
Halaman : 1 2 Selanjutnya