Pernyataan Koh Ahong ini sungguh menusuk dada hamdani. “Iya, untuk itulah aku memberikannya padamu cuma-cuma, Koh, manfaatkan saja,” katanya pasrah.
“Nah, owe sekalang mau kasih kamu empat latus libu lupiah, tetapi bukan halga untuk celeng ini,” katanya, “ini owe kasih saja buatmu.”
Hamdani tak percaya mendengarnya. “Jadi… Koh Ahong bersedia membeli celeng ini?”
Koh Ahong menggelengkan kepalanya sekali lagi. “Bukan,” katanya, “owe ngasih duit ini, sementala owe juga telima celeng dalimu ini.”
“Bukankah itu sama saja, Koh?” tanya Hamdani penasaran, meski diam-diam hatinya berteriak kegirangan. Aku bisa belanja keperluan Sofiah, gumamnya.
“Bedalah…,” jawab Koh Ahong cepat. “Kalau kamu menelima duit hasil peldagangan celeng, itu namanya halam, toh? Nah, kalau kamu makan duit yang kagak halal, bisa masuk nelaka nanti.”
Orang-orang spontan tertawa mendengar Koh Ahong bicara soal “halal-haram” dan “surga-neraka”. Ternyata ‘ustad’ ada di mana-mana, pikir mereka.
“Koh Ahong percaya surga dan neraka?” tanya Hamdani penasaran, ia lebih mendekat siap-siap menerima empat lembar rupiah warna merah yang masih ada di tangan Ahong.
“Haiyaaaa…. owe pelcaya sulga, tapi kagak pelcaya nelaka,” katanya. “Sulga owe ya di dunia ini, sulga dunia namanya, owe kagak pelnah mikil nelaka hehehe….”
“Apa itu surga dunia, Koh?” tanya seseorang dari kerumunan, mungkin saking penasaran.
“Sulga dunia itu tempat kita semua olang bekelja hooo…,” balas Koh Ahong, matanya melirik ke arah pemilik suara, seorang santri. “Sulga dunia kagak ngasih tempat buat olang malas, kagak mau kelja, apalagi cuma minta-minta.”
Orang-orang yang mendengar coletahan Koh Ahong spontan tertawa, tersebab Ahong punya keyakinannya sendiri yang berbeda dengan keyakinan mereka. Ya, sebagian besar orang-orang yang berkumpul itu.
“Nah, sekalang kau boleh ambil lupiah ini,” kata Koh Ahong menyerahkan empat lembar rupiah berwarna merah. Hamdani menerimanya dengan tangan bergetar saking tidak percaya.
“Dengan cara apa aku membalas kebaikanmu ini, Koh?” kata Hamdani lirih. “Sungguh, uang pemberian Akoh ini sangat berarti untuk membeli kebutuhan. Aku bisa belanja kebutuhan Sofiah sekarang.”
“Tidak usah balas-balasan,” katanya. “Lupakan saja.”
“Koh,” kata Hamdani lagi.
“Apa lagi? Masih kulang?”
“Apa bahasa tionghoanya ‘terima kasih’?”
“Xie xie.”
“Xie xie, Koh!”
(Bersambung)
Halaman : 1 2