Oleh : Pepih Nugraha
DAN… tatapan mata itu. Dianti masih berusaha mengumpulkan kesadarannya, tidak percaya jika ia sudah sampai di dangau yang ditujunya. Belum reda dari penatnya, ia nyaris terperosok ke dalam sumur tanpa dasar itu saat beradu pandang dengan pemuda yang kini sudah berdiri di hadapannya.
Hamdani.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tatapan yang menyudutkan, membuat Dianti sulit melepaskan diri dari keanehan. Beruntunglah ia segera tersadar, namun tak dapat dipungkiri kalau adrenalinnya mendadak zig-zag tidak karu-karuan, bibirnya mendadak terkunci.
“Maaf, ada keperluan apa Nyai kemari? Apakah tersasar?”
Dianti mendengar sapaan itu manakala ia tidak tahu harus berkata apa. Pemuda yang hanya mengenakan kaus oblong penuh bolong itu memancarkan sorot mata yang menyihir. Benar-benar melumpuhkan.
“Emh, maaf…. perkenalkan, saya Dianti…”
Dianti balik memandang pemuda itu dengan tatapan tidak biasa, ia mencoba bertahan sekuat tenaga agar tidak terhanyut….
Sejenak teringat kembali Dianti peristiwa dua hari lalu ketika Doktor Satrio memintanya untuk menemui pasangan Hamdani dan Sofiah di dangau. Ini berarti kajian awal untuk penulisan skripsinya disetujui.
Dianti kemudian bercerita kepada teman-teman dekatnya, yaitu Elin, Lilis dan Didi, berharap mendapat masukan dari niatnya itu, tetapi yang ia peroleh malah becandaan, cenderung pelecehan.
“Ya, kamu pernah bercerita tentang pernikahan ganjil antara seorang pemuda dengan perempuan gila yang usianya jauh lebih tua itu, bukan?” kata Lilis, “tetapi yang kubaca dari media online si pemuda itu berbadan tegap dan punya wajah lumayan, faktor inikah yang menarik perhatianmu untuk menelitinya, Anti?”
“Ada tren memang gadis-gadis kota mencari pemuda desa yang eksotis,” timpal Elin, “boleh jadi di mata gadis kota pemuda-pemuda kota terlalu kolokan, egois dan terutama suka terburu-buru yang berakibat cepat selesai, hahaha….”
“Kurasa bukan semata-mata urusan menulis skripsi, tetapi kamu memang ingin mencoba sensasi berbeda barangkali,” imbuh Didi.
“Halah… kalian ngomongin apa, sih?” sergah Dianti sambil memasang muka masam saat mereka menikmati kopi di cafetaria kampus. “Secetek itukah pikiran kalian?”
“Ceileee…. gitu aja marah, Non,” goda Lilis. “Lha, tapi wajahmu mendadak merona merah begitu, ada apa ini?”
“Ayolah, jangan-jangan kamu itu lagi jatuh cinta sama pemuda desa, tetapi sayang disayang si pemuda sudah menikah dengan perempuan gila,” giliran Elin menggoda.
“Kata orang jodoh nggak lari ke mana, tetapi perlu juga dicari sampai ke desa,” timpal Didi sambil tertawa-tawa.
“Aku serius, Sob…. Sekali-kali kalian seriuslah. Gila saja kalau aku sampai naksir sama pemuda kampung, sudah beristri pula!”
“Sessst… jangan salah,” potong Didi, “Bukankah secara negara mereka belum sah menikah?”
“Artinya kamu bisa menjadi istri sahnya!” ledek Lilis.
“Nggak lucu,” teriak Dianti ketus, “Itu tidak akan mungkin terjadi…”
Di depan Hamdani kini, Dianti berusaha agar ketidakmungkinan itu tetap terjaga.
Tetapi….
“Hamdani,” kata pemuda itu menyebut namanya saat tamunya menyalaminya terlalu lama.
Halaman : 1 2 Selanjutnya