CERPEN | Perempuan Penyapu Halaman [13]
Oleh : Pepih Nugraha
DAN… tatapan mata itu. Dianti masih berusaha mengumpulkan kesadarannya, tidak percaya jika ia sudah sampai di dangau yang ditujunya. Belum reda dari penatnya, ia nyaris terperosok ke dalam sumur tanpa dasar itu saat beradu pandang dengan pemuda yang kini sudah berdiri di hadapannya.
Hamdani.
Tatapan yang menyudutkan, membuat Dianti sulit melepaskan diri dari keanehan. Beruntunglah ia segera tersadar, namun tak dapat dipungkiri kalau adrenalinnya mendadak zig-zag tidak karu-karuan, bibirnya mendadak terkunci.
“Maaf, ada keperluan apa Nyai kemari? Apakah tersasar?”
Dianti mendengar sapaan itu manakala ia tidak tahu harus berkata apa. Pemuda yang hanya mengenakan kaus oblong penuh bolong itu memancarkan sorot mata yang menyihir. Benar-benar melumpuhkan.
“Emh, maaf…. perkenalkan, saya Dianti…”
Dianti balik memandang pemuda itu dengan tatapan tidak biasa, ia mencoba bertahan sekuat tenaga agar tidak terhanyut….
Sejenak teringat kembali Dianti peristiwa dua hari lalu ketika Doktor Satrio memintanya untuk menemui pasangan Hamdani dan Sofiah di dangau. Ini berarti kajian awal untuk penulisan skripsinya disetujui.
Dianti kemudian bercerita kepada teman-teman dekatnya, yaitu Elin, Lilis dan Didi, berharap mendapat masukan dari niatnya itu, tetapi yang ia peroleh malah becandaan, cenderung pelecehan.
“Ya, kamu pernah bercerita tentang pernikahan ganjil antara seorang pemuda dengan perempuan gila yang usianya jauh lebih tua itu, bukan?” kata Lilis, “tetapi yang kubaca dari media online si pemuda itu berbadan tegap dan punya wajah lumayan, faktor inikah yang menarik perhatianmu untuk menelitinya, Anti?”
“Ada tren memang gadis-gadis kota mencari pemuda desa yang eksotis,” timpal Elin, “boleh jadi di mata gadis kota pemuda-pemuda kota terlalu kolokan, egois dan terutama suka terburu-buru yang berakibat cepat selesai, hahaha….”
“Kurasa bukan semata-mata urusan menulis skripsi, tetapi kamu memang ingin mencoba sensasi berbeda barangkali,” imbuh Didi.
“Halah… kalian ngomongin apa, sih?” sergah Dianti sambil memasang muka masam saat mereka menikmati kopi di cafetaria kampus. “Secetek itukah pikiran kalian?”
“Ceileee…. gitu aja marah, Non,” goda Lilis. “Lha, tapi wajahmu mendadak merona merah begitu, ada apa ini?”
“Ayolah, jangan-jangan kamu itu lagi jatuh cinta sama pemuda desa, tetapi sayang disayang si pemuda sudah menikah dengan perempuan gila,” giliran Elin menggoda.
“Kata orang jodoh nggak lari ke mana, tetapi perlu juga dicari sampai ke desa,” timpal Didi sambil tertawa-tawa.
“Aku serius, Sob…. Sekali-kali kalian seriuslah. Gila saja kalau aku sampai naksir sama pemuda kampung, sudah beristri pula!”
“Sessst… jangan salah,” potong Didi, “Bukankah secara negara mereka belum sah menikah?”
“Artinya kamu bisa menjadi istri sahnya!” ledek Lilis.
“Nggak lucu,” teriak Dianti ketus, “Itu tidak akan mungkin terjadi…”
Di depan Hamdani kini, Dianti berusaha agar ketidakmungkinan itu tetap terjaga.
Tetapi….
“Hamdani,” kata pemuda itu menyebut namanya saat tamunya menyalaminya terlalu lama.
Hamdani bingung sendiri mau menyilakan tamunya duduk di mana, sementara Sofiah masih tertidur di dangau. Ia kemudian mengajak mahasiswi psikologi itu duduk lesehan saja di atas rumput kering.
Anehnya Dianti tidak keberatan dan ia bahkan mulai duduk bersila. Mengenakan celana jeans menjadi pilihan tepat karena ia bisa lebih leluasa bergerak. Ia mulai membuka buku tulis dan alat perekam suara.
“Ada yang bisa saya bantu, Nyai?” tanya Hamdani melihat tamunya seperti kikuk dan kebingungan. Kok jadi gini, batin Dianti.
“Sejujurnya aku hadir di ijab kabul pernikahan kalian tempo hari karena didorong keingintahuanku saja,” kata Dianti setelah berhasil menguasai diri, sukses mengumpulkan kata-kata.
“Bahkan aku sampai menguntit kalian saat datang ke rumah orangtuamu, tetapi….”
“Untuk apa sampai menguntit saya, Nyai?”
“Meminta kesediaanmu diwawancara untuk sebuah penelitian,” jawab Dianti. “Oh ya belum kukatakan tadi, aku mahasiswi psikologi Universitas Padjadjaran yang tertarik meneliti percintaanmu dengan Sofiah.”
Hamdani tekun mendengarkannya dengan penuh khidmat.
“Sebentar…. saya buatkan dulu kopi madu,” kata Hamdani beranjak dari rumput kering yang didudukinya untuk menyeduh kopi. Kastrol berisi air panas masih di atas tungku berbara api. “Mengapa tertarik meneliti tentang hal itu, Nyai?” tanya Hamdani kemudian setelah menyodorkan kopi madu kepada tamunya.
“Karena ingin mengetahui motifmu menikahi perempuan sakit ingatan,” jawab Dianti ‘to the point’. Ia menanti jawaban Hamdani, terutama apakah ia marah dengan pertanyaannya itu atau biasa-biasa saja.
“Apa yang ingin didapat setelah mengetahui motif saya menikahi Sofiah?” tanya Hamdani kemudian.
“Sebuah kajian yang melawan konsep ‘Oedipus Complex’ selama ini,” kata Dianti. “Emh… maaf, mungkin kamu kurang paham tentang apa yang saya maksudkan, biar saya jelaskan terlebih dahulu….”
“Ya, mungkin, itu urusanmulah, Nyai,” potong Hamdani,
“kenyataannya saya tidak terlalu memuji emak, tetapi toh saya sangat mencintai perempuan yang usianya jauh di atas saya.”
Dhuaaar…. ada ledakan dahsyat dalam kepala Dianti, tidak disangka Hamdani paham konsep ini.
“Bagaimana kamu menggambarkan sosok ibumu sendiri?” tanya Dianti.
“Emak adalah ibuku, saya menghormati emak yang telah melahirkan saya. Maka, tidak ada kebencian dalam diri saya saat emak mengusir saya dan Sofiah, tetapi saya juga tidak terlalu suka emak,” jawab Hamdani. “Saya hormat bapak yang selalu kalah oleh emak dalam segala hal.”
“Apa hubungannya semua itu dengan Sofiah?”
“Saya tidak tahu,” jawab Hamdani. “Sofiah tidak bisa dihubung-hubungkan dengan emak atau dengan siapapun.”
“Dia punya arti khusus buatmu?” tanya Dianti sambil menunjuk Sofiah yang kini sudah terbangun, menggeliatkan badannya. Hamdani segera menghampiri dan terlihat seperti membisikkan sesuatu. Kemudian dia kembali lagi ke Dianti yang masih menanti di atas rumput liar.
“Apa tadi pertanyaanmu, Nyai?” Hamdani balik bertanya setelah berada tepat di depan mahasiswi psikologi itu.
“Apa arti Sofiah buatmu? Apakah kamu mencintainya karena motif tertentu atau memang benar-benar kamu tulus mencintainya?”
Hamdani balik bertanya setelah menarik napas panjang, “Apakah kamu siap mendengarkan cerita saya ini, Nyai?”
Dianti mengangguk, kemudian berusaha lebih mendekatkan dirinya ke Hamdani.
(Bersambung)