Oleh: Pepih Nugraha
DIANTI dan Hamdani.
Tidak ada sebuah peristiwa yang paling ditunggu Dianti selama hidupnya selain menunggu kata pertama terucap dari mulut Hamdani yang akan bercerita tentang pengalaman hidupnya. Bukan semata-mata penting untuk menghidupkan penelitiannya, tetapi ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh mata batin Dianti sendiri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tetapi, pemuda berkaus oblong bolong-bolong dengan tatapan mata yang menjebloskan itu belum juga memulai ceritanya. Ia malah menunduk seolah-olah sedang mengumpulkan segenap ingatannya yang tercerai berai.
Dianti tak sabar menanti. Hamdani belum lagi memulai.
“Apakah ini nanti tidak membongkar aib orang lain sekiranya saya berterus-terang, Nyai?” kata Hamdani kemudian. “Orang lain yang kumaksud itu adalah Sofiah sendiri.”
Yesss…. akhirnya Hamdani bicara, teriak batin Dianti.
“Ini untuk keperluan penelitianku saja, bukan untuk disebarkan kepada orang lain seperti berita,” terang Dianti.
Hamdani memandang mata Dianti, pandangan yang berharap penjelasan lebih dalam.
“Aku bukan wartawan, aku mahasiswa yang tertarik meneliti tentang percintaanmu dengan Sofiah yang menurutku didasari ‘cinta yang tidak biasa’,” tutur Dianti. “Jangan khawatir, namamu dan Sofiah tentu saja akan kusamarkan dalam penulisan penelitian ini nantinya.”
“Apakah kamu akan mempercayai ceritaku ini?” tanya Hamdani, “bagaimana kalau aku menyembunyikan sesuatu atau berbohong tentang kejadian yang sebenarnya.”
“Itu terpulang kepadamu, semua itu tanggung jawabmu. Kalau kamu berdusta, berarti telah berdusta kepada orang-orang yang membaca hasil penelitianku kelak. Apakah kamu mau menjadi seorang lelaki yang tidak bertanggung jawab seperti itu, juga pilihanmu,” kata Dianti memainkan ilmu Psikologi Komunikasi yang ia peroleh setelah membaca buku karya Doktor Jallaludin Rahmat.
“Baiklah,” kata Hamdani akhirnya. “Begini ceritanya…”
Siang itu seorang anak lelaki mendagangkan pisang goreng yang dipersiapkan ibunya dan melewati perkebunan pohon bambu yang rimbun. Seusai sekolah di sekolah dasar Inpres, anak itu berusaha membantu ibunya dengan menjual pisang goreng di atas nampah yang diusung di kepalanya.
“Pisaaaaang…. pisang goreng,” teriak anak itu menawarkan dagangannya saat melintasi sekumpulan anak-anak lainnya yang sedang bermain kelereng, tepat di pertengahan jalan setapak.
“Hei, lihat si Hamdani jualan pisang mendekat kemari,” bisik salah seorang anak kepada empat kawannya yang lain. “Kita kerjain, yuk!”
Melihat Hamdani, anak kelas tiga sekolah dasar berusia sembilan tahun itu siap-siap lewat, muncullah kenakalan mereka. Permainan kelereng pun berhenti. Sekumpulan anak-anak itu mencegat Hamdani saat hendak lewat.
“Kalau kamu mau lewat jalan ini, serahkan lima pisang goreng buat kami berlima, kalau tidak, jangan harap kamu bisa lewat!” ancam seorang anak yang terbesar di antara lima anak yang mencegat Hamdani itu.
Langkah Hamdani tertahan.
“Jangan… kalau kuserahkan lima pisang, berarti aku tidak bakal dapat untung, lagi pula emakku pasti marah besar,” hiba Hamdani sambil berusaha tetap maju membawa dagangannya tetap berada di kepala.
“Tidak boleh lewat, kecuali kau bayar dengan lima pisang goreng, paham!?” seorang anak menghadangnya.
“Jangan..!!” Hamdani memohon.
Hamdani berusaha mempertahankan dagangannya, tetapi dengan keterampilan monyet, gerombolan anak-anak itu mulai mencomot pisang goreng yang ada di atas nampah di kepala Hamdani tanpa bisa dicegah. Hamdani mulai panik saat beberapa anak sudah langsung melahap pisang goreng hasil jarahan yang masih mengepul itu.
Antara takut kena marah emaknya dan kemarahan yang timbul dari dalam dirinya sendiri, sekadar dibimbing nalurinya, Hamdani melakukan perlawanan dengan balas menendang anak yang menjadi pimpinan kelompok anak-anak itu.
Tendangannya tepat mengenai perut anak yang tubuhnya jauh lebih besar. Pisang goreng yang sudah berada di mulut pun sampai terlempar ke luar lagi.
Tidak terima kena tendangan tak terduga, anak itu membalas dengan meninju wajah Hamdani. Sekali pukul Hamdani langsung terjengkang ke belakang, terkapar di tanah. Anak-anak itu kemudian mengeroyok Hamdani yang sudah tidak berdaya. Dagangannya tumpah, pisang goreng terlempar ke mana-mana.
Beruntung saat itu seorang anak perempuan lewat jalan setapak di perkebunan bambu dan melihat seorang anak penjual goreng pisang sedang dikeroyok lima anak lainnya tanpa ampun. Melihat peristiwa itu, anak perempuan yang sudah duduk di bangku kelas dua sekolah menengah pertama itu menghardik para begundal.
“Hai, lepaskan anak itu!” teriaknya sambil berlari ke arah tempat terjadinya pengeroyokan. “Beraninya kalian main keroyokan, sini lawan aku kalau kalian berani!” tantangnya kemudian.
Halaman : 1 2 Selanjutnya