Oleh: Pepih Nugraha
KEESOKAN harinya Hamdani menjajakan kembali pisang gorengnya. Celakanya, ia terpaksa harus melewati jalan setapak itu lagi, jalan setapak yang dinaungi rimbunnya pepohonan bambu dan di sana lima anak nakal itu sedang main kelereng, seperti hari-hari kemarin.
Hamdani tidak bisa mudur atau berbalik arah, sebab itulah jalan satu-satunya yang bakal menghubungkannya dengan keramaian. Pisang goreng hanya bisa laku dijual jika dijajakan di tengah kerumunan banyak orang.
Tidak ada pilihan, Hamdani harus tetap berjalan, apapun yang terjadi.
Ajaib!
Tidak ada seorang anakpun yang berani menggoda atau menakalinya seperti kemarin. Mereka bahkan memberi jalan buat Hamdani lewat. Anak-anak yang seperti menaruh hormat itu membuat Hamdani heran sendiri.
Namun, keheranannya segera terjawab tatkala di ujung jalan ia melihat Sofiah sedang berdiri. Menantinya.
Anehnya, ada rasa malu yang tak biasa yang menyergap perasaannya, sebuah perasaan yang tidak pernah ia miliki sebelumnya, meski ia sering bertemu Sofiah dalam berbagai kesempatan.
Rasa malu demikian menekannya, sampai-sampai ia berniat membalikkan badan dan kembali ke jalan yang tadi ditempuhnya. Malu karena perasaan itu, juga malu atas sikap emaknya terhadap Sofiah kemarin.
Hamdani nekat. Ia siap-siap balik badan untuk mengambil langkah seribu.
“Hei, Hamdan, jangan takut, kemarilah!”
Suara Sofiah di ujung sana menghentikan langkahnya.
Sofiah pulalah yang kemudian menghampiri Hamdani tatkala anak itu ragu mendekatinya. Kepalanya menunduk, hampir saja pisang goreng yang ada di nampah di atas kepalanya tumpah. Sofiah menahan bibir nampah itu agar tidak benar-benar tumpah.
“Kenapa, Hamdan? Kamu takut aku?”
Hamdani memandang Sofiah. “Aku malu, Teh Sofi,” katanya.
“Kenapa harus malu?”
“Teteh demikian baik kepadaku,” katanya. “Aku khawatir tidak bisa membalas kebaikanmu.”
“Ah, kau anak kecil tahu apa, Hamdan,” kata Sofiah tertawa. “Sini kubeli pisang gorengmu sepuluh biji.”
Dengan cekatan Hamdani menurunkan nampahnya dan menaruhnya di tanah yang agak tinggi. Matanya beradu tatap dengan Sofiah yang sedang memperhatikannya dari seberang nampah. Hamdani kalah awu, dia menunduk sendiri dan mulai memilih pisang goreng untuk dibungkus kertas koran bekas.
Segera ia menyerahkan bungkusan itu kepada Sofiah, sementara Sofiah memberi uang. Tatkala Hamdani sibuk mencari uang kembaliannya, Sofiah menjawil dagu anak itu, “Sudahlah, uang kembaliannya buatmu saja.”
Hamdani tertegun tak percaya. Dua hari berturut-turut bertemu Sofiah, orang yang sama yang menebar kebaikan, mau tidak mau masuk dalam ingatannya tatkala ia mengaji di surau. Ustad Hekal berkali-kali memukulkan lidi ke tangan karena Hamdani kurang berkonsentrasi terhadap Alquran yang dibacanya.
Saat hendak berangkat tidur, bayangan “kakak”-nya itu muncul di kepala, dalam bayangan itu ia sedang berlari saling kejar-kejaran dengan Sofiah di sebuah taman bunga. Hamdani ingin hari segera berganti, ingin berangkat lebih pagi lagi kalau bisa menjajakan pisang goreng, sambil berharap bertemu kembali Sofiah.
Tosari, bapak Sofiah, saat itu boleh dibilang orang yang cukup terpandang di desa. Sawah dan ladangnya luas, kebunnya ada di mana-mana. Akan tetapi tidak lama kemudian, Tosari terjerat piutang rentenir karena ingin membuat pabrik tapioka kendati tetangganya mengingatkan, salah-salah kelola uang bisa melayang.
Halaman : 1 2 Selanjutnya