FAKTA pertama, UNESCO menyebutkan Indonesia urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, artinya minat baca sangat rendah. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca!
Riset berbeda bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa.
Fakta kedua, 60 juta penduduk Indonesia memiliki gadget, atau urutan kelima dunia terbanyak kepemilikan gadget. Lembaga riset digital marketing Emarketer memperkirakan pada 2018 jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia lebih dari 100 juta orang. Dengan jumlah sebesar itu, Indonesia akan menjadi negara dengan pengguna aktif smartphone terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika.
Ironisnya, meski minat baca buku rendah tapi data wearesocial per Januari 2017 mengungkap orang Indonesia bisa menatap layar gadget kurang lebih 9 jam sehari. Tidak heran dalam hal kecerewetan di media sosial orang Indonesia berada di urutan ke 5 dunia. Juara deh. Jakarta lah kota paling cerewet di dunia maya karena sepanjang hari, aktivitas kicauan dari akun Twitter yang berdomisili di ibu kota Indonesia ini paling padat melebihi Tokyo dan New York. Laporan ini berdasarkan hasil riset Semiocast, sebuah lembaga independen di Paris.
Salah satu yang menakjubkan, Warga Jakarta tercatat paling cerewet menuangkan segala bentuk unek-unek di Twitter lebih dari 10 juta tweet setiap hari. Di posisi kedua peringkat dunia kota teraktif di Twitter ialah Tokyo. Menyusul di bawah Negeri Sakura ada warna Twitter di London, New York dan Sao Paulo yang juga gemar membagi cerita. Bandung juga masuk ke jajaran kota teraktif di Twitter di posisi enam. Dengan demikian, Indonesia memiliki rekor dua kota yang masuk dalam daftar riset tersebut.
Coba saja bayangkan, ilmu minimalis, malas baca buku, tapi sangat suka menatap layar gadget berjam-jam, ditambah paling cerewet di media sosial pula. Jangan heran jika Indonesia jadi sasaran empuk untuk info provokasi, hoax, dan fitnah. Kecepatan jari untuk langsung like dan share bahkan melebihi kecepatan otaknya. Padahal informasinya belum tentu benar, provokasi dan memecah belah NKRI.
ERA POST-TRUTH
Lewat gadget memang banyak informasi fakta yang beredar. Sayangnya informasi yang mereka dapatkan juga bukan berasal dari media yang bisa dipercaya, melainkan dari media sosial yang lebih banyak dipenuhi oleh opini, bukan fakta. Bahkan sebaliknya, mereka malah percaya dengan portal-portal fake news dan akun-akun penyebar hoax itu.
Reuters Institute menyebutkan, jurang terbesar saat ini justru adalah soal kepercayaan masyarakat terhadap media fake news versus media yang valid. Faktanya memang begitu,
diukur lewat Alexa.com beberapa media fake news bahkan bisa mengalahkan media mainstream seperti Antaranews dan Tempo.co.
Ya, selamat datang di Era Post-Truth! Post-Truth ini didefinisikan sebagai ‘berkaitan dengan atau merujuk kepada keadaan di mana fakta-fakta obyektif kurang berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibandingkan emosi dan keyakinan pribadi. Di era Post-Truth, orang tidak lagi mencari kebenaran dan fakta melainkan afirmasi dan konfirmasi dan dukungan atas keyakinan yang dimilikinya.
Memang kini banyak situs opini yang bias, menyerang, dan tendensius pada satu kelompok, mereka bisa mengambil hati dan perasaan pembaca dengan story-telling yang mereka buat. Kebenaran menjadi tidak penting.
Kredibilitas nama medianya apalagi, sudah tidak dilihat oleh masyarakat kita yang malas baca dan cerewet tadi. Ketika media mainstream justru berseberangan faktanya dengan media opini tersebut, masyarakat justru malah berbalik menjadi tidak percaya terhadap media-media bernama besar itu. Jadi yang mengganggu bukan hanya media sosial berisi hoax tapi juga media fake news yang menyebarkan opini yang terpolarisasi.
JADI APA SOLUSINYA?
Ada cara yang efektif, yaitu dengan membangun literasi media dan menjembatani polarisasi itu. Kominfo harus tegas untuk membuat pelabelan situs/artikel sebagai hoax dengan kriteria dan prosedur yang jelas. Selain itu kita juga harus melakukan kontra narasi yang kredibel terhadap hoax/opini yang menyesatkan.
Paradigma bahwa orang yang mengkritik pemerintah sebagai haters juga harus diubah. Engagement di sosial media harus lebih mengayomi bukan memerangi. @_TNIAU bisa menjadi role model pola komunikasi pemerintah yang mengayomi di media sosial. Yang terakhir, masyarakat butuh entitas yang independen untuk melakukan kroscek untuk mencari, melaporkan atau bertanya tentang kemungkinan informasi hoax.
Untuk paragraf diatas terakhir itu, saat Jambore PR Indonesia (Jampiro) 3 di Yogyakarta kemarin, Suharjo Nugroho mencoba mengelaborasi ide tersebut. Di sesi pembukaan Jampiro, setelah mendengarkan pemaparan Mas Arif Zulkifli, Pemred Tempo soal bagaimana proses kerja redaksional yang kredibel di media mainstream versus pembuatan fake news atau hoax, Pak Ahmad Heryawan alias Pak Aher Gubernur Jabar soal Jurnalisme Tabayun dan Bu Niken Widiastuti Dirjen IKP Kemkominfo perihal bagaimana pemerintah sudah berusaha keras mematikan portal dan akun-akun hoax itu, Suharjo yang menjadi pembicara terakhir mencoba merangkum para pembicara hebat ini dengan sebuah inisiasi proyek #KROSCEK.
#KROSCEK merupakan proyek kolaborasi antara PR Indonesia dan Jurnalis Indonesia yang didukung oleh Kemkominfo RI.
Mengadopsi konsep jurnalisme Tabayun pak Aher, #KROSCEK ini juga memiliki sejumlah pilar Tabayyun yaitu ‘shidiq’, pembela dan penegak kebenaran. Artinya #KROSCEK harus.
berpihak dan membela kebenaran. Kemudian Amanah, artinya dapat dipercaya. Kita harus menginformasikan berita atau kejadian yang sesungguhnya. Tentu tak ketinggalan yaitu Fathonah, artinya cerdas dan berwawasan luas.
Melalui #KROSCEK, masyarakat bisa mengirimkan laporan atau pertanyaan tentang kemungkinan hoax dari situs berita dan sosial media. Kemudian di dalam portal ini pun terdapat kajian-kajian ilmiah dari dunia akademik, praktisi PR dan organisasi masyarakat untuk menjaga independensi dan kepercayaan. Wartawan dari media nasional dan lokal bisa bergabung sebagai relawan untuk melakukan kroscek dengan berbagi sumber daya, pengalaman, dan narasumber.
Hasil dari laporan informasi yang sudah dikonfirmasi di #KROSCEK oleh para stakeholdernya ini pun pada akhirnya dapat digunakan para jurnalis sebagai sumber berita kredibel di media masing masing. Sehingga teman-teman wartawan tak lagi menggunakan Lambe Turah sebagai narasumber pemberitaannya.*