Burung pipit yang bersarang di pojok atap dangau menjadi saksi menyatunya dua tubuh manusia dalam alunan irama hujan-angin yang syahdu dan sesekali guntur yang menyalak….
Hamdani terjaga dari lamunannya tatkala Sofiah yang kini sedang menyapu halaman sudah selesai dengan tugasnya. Dari kejauhan, terlihat Sofiah siap-siap hendak memasuki rumahnya.
“Teh Sofi, tunggu!”
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Teriakan Hamdani mampu menahan perempuan penyapu halaman itu. Ia sejenak berdiri mematung di ambang pintu, tatapan kosongnya mencari arah datangnya suara.
“Aku di sini, Teh, aku Hamdan. Masih ingat?” bisik Hamdani setelah jarak semakin menipis.
Tidak ada jawaban. Mata perempuan penyapu halaman itu masih kosong. Terburu-buru ia menutup pintu, membiarkan suara yang memanggil namanya tetap di luar, “Teh Sofi, aku Hamdan, Teh!”
Dinihari berikutnya, Hamdani menunggu dari kejauhan datangnya Sofiah mulai menyapu halaman. Ia kini sudah mulai berani mendekat, bahkan mengajaknya bercakap-cakap. Sejauh itu, mata Sofiah tetap saja kosong, seolah-olah memandang ke kejauhan tetapi tidak fokus. Mengambang.
“Teh Sofi, masih ingat peristiwa di dangau itu?” Hamdani memberanikan diri membuka percakapan dengan harapan pikiran Sofiah lebih terbuka, bukankah itu pengalaman pertama mereka berdua? “Saat itu hujan turun dengan lebatnya, Teh, angin menampar tubuh kita berdua. Ingat itu, Teh?”
Sofiah tertegun, meski tatapannya masih kosong. Wajahnya tertunduk. “Ingat, Teh, aku Hamdan!”
“Bukan,” teriak Sofiah memecah keheningan dinihari. “Kamu si keparat Gofar, kamu si jahat Johan, kamu si rakus Lahia. Kamu itu mereka..!!!”
Sedetik kemudian tubuh Sofiah sudah tertelan pintu yang dibantingnya keras-keras, ditutupnya rapat-rapat. Sapu lidi yang biasa Sofiah gunakan tergeletak di kaki Hamdani.
Hening kemudian mendaulat suasana. Dinihari pun berakhir ketika lintang kemukus sudah mulai bercahaya di langit Timur.
Lima dinihari sejak peristiwa itu, berlalu tanpa kehadiran Sofiah si penyapu halaman rumah. Hamdani menghitung hari. Tidak terdengar lagi irama “srak-srek srak-srek” ujung sapu lidi menyentuh halaman rumah. Dinihari menjadi sunyi tanpa suara, kecuali suara jangkrik dan kodok yang tidak pernah menghilang. Ada kerinduan yang tidak biasa menekan perasaan Hamdani.
Pada dinihari berikutnya, ia memberanikan diri mengendap-endap mendekaki rumah Tosari, sekadar ingin memastikan keberadaan Sofiah, yang kini sudah tidak pernah menyapu halaman rumah lagi. Susana begitu mencekam saat penduduk benar-benar mabuk dalam tidur lelap mereka.
Hamdani berhasil mendekat halaman belakang rumah yang tergolong besar di desa itu. Ada yang sedang bersenandung lagu pilu dari halaman belakang rumah itu. Pada dinihari yang senyap itu.
Dalam keremangan cahaya obor, Hamdani mendapatkan Sofiah sedang duduk melonjorkan kedua kakinya. Ia masih ingat, kain penutup tubuh Sofiah adalah kain yang dipakainya pada peristiwa di dangau beberapa tahun lalu.
Hamdani menatap tajam wajah Sofiah, berharap tatapan kosong itu sudah berisi.
“Teh Sofi, ini Hamdan! Masih ingat?”
Tidak ada jawaban.
Dua kaki indah perempuan itu kini sudah terpasung pada kayu balok besar. (Bersambung)
Halaman : 1 2