Oleh: Pepih Nugraha
Rodiah, perempuan muda yang wajahnya berbalut angkara, berdiri sambil berkacak pinggang tepat di depan Hamdani. Telunjuk kanannya masih terus menuding lelaki di depannya, sehingga nyaris berjarak. Telunjuk itu hampir mengena hidung Hamdani.
Hamdani masih berdiri tenang, Sofiah sama sekali bergeming.
Hadirin yang siap-siap bubar menahan diri untuk tidak segera pulang, mereka ingin mengetahui drama lain kehidupan penduduk desa ini, drama tambahan yang tak kalah seru.
“Berani-beraninya kau ingkari janji, Hamdan!” teriak Rodiah seperti kerasukan setan.
Beberapa orang mulai mendekat dan berusaha menenangkan perempuan itu, bahkan seseorang rela menjadi tameng yang memisahkan antara Hamdani dengan Rodiah. Ia tidak rela kebahagiaan yang baru saja diperoleh pengantin terusik dengan kedatangan perempuan belia ini.
“Aku tak pernah berjanji apa-apa kepadamu, Diah,” balas Hamdani angkat bicara. “Kamu sendirilah yang membuat janji itu, janji yang tak pernah kuamini, bukan?”
“Iya, tetapi aku aku ingin kau menikah denganku, aku ingin kau nikahi aku, lalu kenapa kau memilih perempuan sinting ini?” teriak Rodiah, telunjuknya beralih ke Sofiah. “Kurang apa aku ini, Hamdan?”
“Ini cuma perkara pilihan, Diah, ini pilihanku,” kata Hamdani menuntun Sofiah menghindari kerumunan dengan niat ingin segera berlalu, terutama tentu saja menjauh dari Rodiah. “Aku sendiri tidak mengerti mengapa aku memilihnya.”
“Ketahuilah Hamdan,” kata Rodiah, “hanya lelaki sinting yang memilih menikah dengan perempuan sinting!”
Hamdan menatap perempuan usia belasan tahun itu sebelum berkata, “Apa yang harus kukatakan ketika seorang perempuan mengharapkan lelaki sinting untuk menikahinya?”
Rodiah meludah. Ludah yang disemprotkan ke wajah Hamdani. Setelah itu dia bergegas pergi. Berlari.
Hamdani menuntun Sofiah pergi.
**
Tidak ada tujuan lain selain rumah orangtuanya, pasangan Sopandi dan Sumiati. Ke sanalah kaki melangkah.
Setelah menempuh perjalanan lumayan panjang, sampailah pasangan pengantin itu. Hamdani langsung menghiba agar Sumiati mengizinkan Sofiah untuk tinggal sementara di rumah, sebelum ia mendapat rumah pinjaman atau kontrakan. Tetapi emak kandungnya itu tidak sedikitpun memberi peluang. Ia tetap keras pada pendiriannya.
“Kalau kau bersikukuh membawa perempuan sinting tinggal di rumah ini, lebih baik akulah yang menyingkir,” ancamnya. “Enak saja Si Tosari itu, beban dia jadi ringan sementara aku ketiban sial menampung perempuan edan ini, paham?”
“Aku memohon beberapa malam saja, Mak, sebelum aku mendapatkan rumah pinjaman dari orang-orang baik di kampung ini,” pinta Hamdani.
“Bahkan semalam pun aku tidak sudi,” kata Sumiati lebih keras. “Aku tidak mau rumahku ketiban sial gara-gara menampung perempuan edan. Kau tahu, Hamdan, boleh jadi perempuan ini kena guna-guna. Nah, aku tidak mau nanti guna-guna itu berbelok mengenai kita!”
Diam-diam Sopandi mendengarkan percakapan sengit antara ibu dan anak ini, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan sekadar jadi penengah. Tidak berdaya.
Halaman : 1 2 Selanjutnya