Perempuan Penyapu Halaman [5]
Oleh: Pepih Nugraha
Rodiah, perempuan muda yang wajahnya berbalut angkara, berdiri sambil berkacak pinggang tepat di depan Hamdani. Telunjuk kanannya masih terus menuding lelaki di depannya, sehingga nyaris berjarak. Telunjuk itu hampir mengena hidung Hamdani.
Hamdani masih berdiri tenang, Sofiah sama sekali bergeming.
Hadirin yang siap-siap bubar menahan diri untuk tidak segera pulang, mereka ingin mengetahui drama lain kehidupan penduduk desa ini, drama tambahan yang tak kalah seru.
“Berani-beraninya kau ingkari janji, Hamdan!” teriak Rodiah seperti kerasukan setan.
Beberapa orang mulai mendekat dan berusaha menenangkan perempuan itu, bahkan seseorang rela menjadi tameng yang memisahkan antara Hamdani dengan Rodiah. Ia tidak rela kebahagiaan yang baru saja diperoleh pengantin terusik dengan kedatangan perempuan belia ini.
“Aku tak pernah berjanji apa-apa kepadamu, Diah,” balas Hamdani angkat bicara. “Kamu sendirilah yang membuat janji itu, janji yang tak pernah kuamini, bukan?”
“Iya, tetapi aku aku ingin kau menikah denganku, aku ingin kau nikahi aku, lalu kenapa kau memilih perempuan sinting ini?” teriak Rodiah, telunjuknya beralih ke Sofiah. “Kurang apa aku ini, Hamdan?”
“Ini cuma perkara pilihan, Diah, ini pilihanku,” kata Hamdani menuntun Sofiah menghindari kerumunan dengan niat ingin segera berlalu, terutama tentu saja menjauh dari Rodiah. “Aku sendiri tidak mengerti mengapa aku memilihnya.”
“Ketahuilah Hamdan,” kata Rodiah, “hanya lelaki sinting yang memilih menikah dengan perempuan sinting!”
Hamdan menatap perempuan usia belasan tahun itu sebelum berkata, “Apa yang harus kukatakan ketika seorang perempuan mengharapkan lelaki sinting untuk menikahinya?”
Rodiah meludah. Ludah yang disemprotkan ke wajah Hamdani. Setelah itu dia bergegas pergi. Berlari.
Hamdani menuntun Sofiah pergi.
**
Tidak ada tujuan lain selain rumah orangtuanya, pasangan Sopandi dan Sumiati. Ke sanalah kaki melangkah.
Setelah menempuh perjalanan lumayan panjang, sampailah pasangan pengantin itu. Hamdani langsung menghiba agar Sumiati mengizinkan Sofiah untuk tinggal sementara di rumah, sebelum ia mendapat rumah pinjaman atau kontrakan. Tetapi emak kandungnya itu tidak sedikitpun memberi peluang. Ia tetap keras pada pendiriannya.
“Kalau kau bersikukuh membawa perempuan sinting tinggal di rumah ini, lebih baik akulah yang menyingkir,” ancamnya. “Enak saja Si Tosari itu, beban dia jadi ringan sementara aku ketiban sial menampung perempuan edan ini, paham?”
“Aku memohon beberapa malam saja, Mak, sebelum aku mendapatkan rumah pinjaman dari orang-orang baik di kampung ini,” pinta Hamdani.
“Bahkan semalam pun aku tidak sudi,” kata Sumiati lebih keras. “Aku tidak mau rumahku ketiban sial gara-gara menampung perempuan edan. Kau tahu, Hamdan, boleh jadi perempuan ini kena guna-guna. Nah, aku tidak mau nanti guna-guna itu berbelok mengenai kita!”
Diam-diam Sopandi mendengarkan percakapan sengit antara ibu dan anak ini, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan sekadar jadi penengah. Tidak berdaya.
“Dia bukan kena guna-guna, Mak,” kata Hamdani memberanikan diri menjawab. “Dia harus menanggung beban derita tak terperikan selama hidup di kota. Dia korban perdagangan manusia, dia sempat tersesat di rumah bordil, itulah yang membuat hidupnya tertekan.”
“Lha, lalu kenapa kau tiba-tiba berhati nabi untuk mengurusnya bahkan sampai bersedia mengawini lonte ini?” teriak Sumiati sengit. “Sampai tubuhku masuk ke liang lahat aku takkan sudi menerima perempuan sinting ini, Hamdan, mengerti!?”
“Ini masalah kemanusiaan, Mak, aku harus menolong tetanggaku yang terkena bencana. Ada malapetaka yang kini bersemayam dalam jiwanya.”
“Bukankah itu urusan Si Tosari sebagai bapaknya, bukan urusanmu!”
“Ini urusanku, Mak, karena aku jatuh sayang kepadanya.”
“Kau sudah ikut-ikutan sinting, Rupanya! Apa sudah tidak ada perempuan lain di desa ini selain perempuan edan ini, Hamdan?” kata Sumiati berapi-api. “Sudah dia gila, berumur pula. Perempuan ini pantas menjadi kakakmu. Kupikir kau sendiri sudah gila, Hamdan, sementara Rodiah perempuan yang lebih muda dari usiamu kau sia-siakan!”
“Emak,” kata Hamdani lirih setelah hening sejenak. “Rupanya aku salah menilai Emak selama ini.”
“Apa maksudmu?”
“Kupikir Emak perempuan soleha,” kata Hamdani mengusik perasaan emaknya yang paling sensitif. “Aku menyaksikan sendiri emak tidak pernah lepas menderas kitab suci siang maupun malam. Pun salat lima waktu tak pernah terlewat…”
“Lalu apa hubungannya dengan keputusanku untuk menolak perempuan sinting hidup di rumah ini?”
“Itulah, Mak,” jawab Hamdan lirih, “kesalehan sosial Emak rupanya tidak berbekas dalam kehidupan sehari-hari, ibarat air di daun keladi. Emak hanya saleha kepada Tuhan.”
“Kurang ajar kau, berani-beraninya mengajari Emakmu soal kesalehan,” teriak Sumiati lebih keras lagi. “Cepat kau pergi dari rumah ini, bawa pakaianmu dan bawa jauh-jauh lonte sinting ini!”
Di luar, diam-diam Dianti si mahasiswi psikologi yang sedang kuliah kerja nyata di kampung tetangga, mengikuti percakapan antara ibu dan anak ini secara saksama. Ia mencatat dan bahkan merekam semua percakapan itu dengan alat perekam sensitif yang ia miliki untuk keperluan kuliah.
Kini Dianti tengah mempertimbangkan apakah harus menampakkan diri atau tetap mengendap-endap seperti ini, yaitu beroperasi secara diam-diam. Akan tetapi ia segera sadar, untuk keperluan skripsinya ia harus menampakkan diri secara terus-terang, tidak boleh dilakukan secara diam-diam.
“Iya benar, tetapi tidak sekarang,” batin Dianti seraya menjauh pergi.
Dari dalam rumah, tampak Hamdani dengan membawa buntelan kain besar menuntun Sofiah hati-hati.
Terusir dari rumah sendiri.
(Bersambung)