Gelar dan Gertak Beda Tipis

Avatar

- Jurnalis

Sabtu, 19 Juni 2021 - 18:44 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh: Goenawan Mohamad

BEBERAPA puluh tahun yang lalu, di sebuah rumah indekosan yang penuh di Semarang, ada dialog begini:
T: “Dik, siapa yang di kamar mandi ya? Kok lama.”
J: “Doktorandus, Mas…”

Nama tampaknya bisa diabaikan, tapi gelar tidak. Tentu saja waktu itu gelar “doktorandus” atau “doktoranda” masih punya nilai, baik untuk cari kerja atau cari jodoh, dan sebab itu dipasang di mana-mana. Inflasi itu pelan-pelan memerosotkannya, dan bersamaan dengan itu peraturan resmi mengubahnya. Sekarang gelar lain berderet-deret di pasar; sudah inflasi juga, tapi belum secara umum disadari.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Orang Indonesia, kata seorang kenalan yang pernah tinggal di beberapa negara di Afrika, mirip orang Nigeria: gila gelar.

Pejabat, politisi, bahkan pegawai tingkat bawah, mengharap dipanggil “Oga”. Jika kita datang ke kantor pemerintah atau swasta, staf tingkat rendah sekalipun akan tak bersikap ramah bila kita tak memanggilnya “Oga”.

Kata ini berarti “boss”. Karena di atas boss ada boss lain — dan itulah birokrasi — maka yang paling puncak di sebut “Oga at the Top”.

Di eselon yang lebih tinggi, tempelan pada nama Nigeria — kita lihat di meja kerja atau di kartu nama — bisa CEO, GMD, MD, GM, PS, ED, HOD, VC, PA, SA. Kadang-kadang satu, tak jarang berjerjer.

Ada gelar yang didapat karena prestasi yang sah di perguruan tinggi, ada yang didapat karena beli, ada karena transaksi politik.

Seperti di Indonesia, jual beli gelar berlangsung secara diam-diam. Tak hanya di dunia akademik, juga di dalam hierarki tradisional. Yang agaknya istimewa di Nigeria, gelar biasa ditulis di plat nomor mobil. Mobil, simbol harta dan kuasa, ditambahi simbol martabat lain, yang membuat si pengendara boleh melanggar aturan di mana perlu. Polisi gentar. Beda antara “gelar” dan “gertak” sangat tipis.

Tak mengherankan jika gelar bukan hanya jadi komoditi, tapi juga obyek persaingan. Orang tak cukup hanya mencantumkan tanda keunggulan kelasnya. Mereka juga menambahkan nomor: “Ogbuokuku 1”, “Ogbuewu 1”, atau “Ogbuefi 1”. Tak ada yang nomor dua dan tiga, tentu saja.

Follow WhatsApp Channel www.kabarbenggawi.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Rekomendasi untuk Anda

Koreografi Kekuasaan
Kepala Desa Bukanlah Raja Yang Berkuasa
Banjir dan Perda RTRW, Sebuah Refleksi Bencana Berulang Banggai Laut
Harapan Orang Desa Di Marka Jalan Eoforia Politik 2024
Tadarus Demokrasi: Menghadapi Derasnya Informasi Ditahun Politik
Menilisik Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
Omnimbus Law UU Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat
Politik Berintegrasi Menuju Demokrasi Pilkades Yang Berbudaya
Berita ini 3 kali dibaca

Rekomendasi untuk Anda

Selasa, 30 Juli 2024 - 08:39 WITA

Koreografi Kekuasaan

Rabu, 10 Juli 2024 - 10:19 WITA

Kepala Desa Bukanlah Raja Yang Berkuasa

Jumat, 5 Juli 2024 - 10:43 WITA

Banjir dan Perda RTRW, Sebuah Refleksi Bencana Berulang Banggai Laut

Kamis, 14 September 2023 - 16:01 WITA

Harapan Orang Desa Di Marka Jalan Eoforia Politik 2024

Sabtu, 29 April 2023 - 09:12 WITA

Tadarus Demokrasi: Menghadapi Derasnya Informasi Ditahun Politik

Berita Terbaru