Sofiah tertawa lepas cekikikan. Menerbitkan lucu, sekaligus pilu.
Rencana pernikahan Hamdani dengan Sofiah bukan hanya menggegerkan seisi kampung, melainkan kampung tetangga pula. Ada juruwarta yang mendadak datang ke kampung itu, bertanya ini-itu kepada Hamdani maupun kepada Tosari. Mungkin ini peristiwa menarik; pemuda waras menikahi perempuan sinting!
Tidak lama kemudian gambar Sofiah sudah termuat di koran-koran. Seorang mahasiswi psikologi yang sedang melaksanakan kuliah kerja nyata di kampung seberang, tertarik mendalami sisi kejiwaan si pengantin pria, toh sakit jiwanya si pengantin wanita urusan psikiater. Ia pun datang ke desa itu.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Hari yang ditentukan segera tiba.
Lebe yang biasa menikahkan pasangan pengantin dari KUA semula tidak akan hadir, sebab menurut aturan yang berlaku, pernikahan hanya bisa dilangsungkan antara pengantin pria waras dengan pengantin wanita waras, tidak bisa menikahkan pasangan pengantin tidak waras atau salah satunya tidak waras. Tersebab, hukum sahnya pernikahan adalah ijab kabul, selain tentu saja para wali dan saksi.
Karena tidak mau menanggung aib, Tosari pun menolak menjadi wali nikah.
Tidak ada rencana pernikahan sebelumnya di desa itu yang menjadi perbincangan hangat penduduk selain Suwirya, juragan beras di kampung itu yang menikah lagi dengan istri ketujuhnya. Diperkirakan, ratusan orang bakal berdatangan ke Masjid Al-Kautsar, tempat bakal dilangsungkannya pernikahan yang mereka anggap ganjil bahkan ajaib.
Lebe semula menolak hadir untuk menikahkan pengantin karena pihak KUA pasti menyalahkannya. Akan tetapi, semua orang desa itu tahu, ini masalah kemanusiaan, bukan semata-mata urusan negara.
Ada seorang pemuda yang ingin menyembuhkan penyakit jiwa perempuan desa tetangganya, yang pada masa remaja dulu menjadi teman sepermainannya. Mereka, orang-orang yang bakal menyesaki halaman masjid itu tidak pernah tahu adanya percintaan yang sedemikian dahsyat antara pasangan pengantin, percintaan Hamdani-Sofiah yang melebihi Sampek Eng Tay atau bahkan Romeo dan Juliet.
Mereka, orang-orang itu, tidak pernah tahu peristiwa di sebuah dangau beberapa tahun silam tatkala Hamdani dan Sofiah terperangkap hujan sehabis mencari kayu bakar, sepi, kedinginan, mencekam, syahdu dan kemudian terjadilah peristiwa pertama itu…
Pagi itu, selepas Hamdani dengan bantuan tetangganya yang bersimpati melepas kedua kaki Sofiah dari pasungan, Sofiah kemudian didandani sedemikian rupa sehingga pantas untuk sebuah pernikahan. Kebaya putih dengan kain Sidomukti melilit tubuh ramping Sofiah.
Rambutnya yang pirang kecoklatan karena sisa-sisa cat rambut masa lalu terbelah dua, terjuntai di dada kiri dan kanannya. Bedak tipis menyaput wajahnya yang tetap saja polos tanpa ekspresi. Sesekali Sofiah bergumam tidak jelas, mengumpat sejumlah nama, setelah itu bernyanyi kembali.
Hamdani tidak bisa jauh-jauh dari Sofiah, karena itu tanggung jawabnya sebagaimana perjanjian dengan Tosari. Alih-alih menjadi saksi pernikahan anaknya, Tosari malah pergi ke kota kecamatan dengan alasan ada urusan.
Pagi ini Hamdani membawa Sofiah ke Masjid Al-Kautsar diiringi tetangganya yang sekadar ingin tahu. Gelak tawa dan canda terdengar dari iring-iringan itu, yang mereka anggap peristiwa ini sebagai hiburan gratis. Mana ada orang waras menikah dengan orang gila.
Hamdani terus mendampingi Sofiah berjalan menuju Masjid tempat Lebe Udin dari KUA sudah menanti.
Pada sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya Sofiah bergumam, mengumpat, tertawa, bernyanyi lalu sesekali berjoget erotis, yang semuanya mengundang tawa para pengiring.
“Kau aman di sampingku, Teh Sofi,” bisik Hamdani menenangkan.
Lalu Sofiah menari erotis lagi.
(Bersambung)
Pepih Nugraha
Halaman : 1 2