Oleh: Pepih Nugraha
Ada dua peristiwa besar sebelumnya yang membuat pasar kecamatan itu mendadak menjadi tempat berkumpulnya orang-orang. Sangat mendadak dan serempak.
Pertama, tidak ada yang memberi aba-aba, sejak beredar sas-sus calon presiden yang wajahnya sering tampil di televisi itu bakal hadir di sana untuk kampanye, tiba-tiba orang-orang tumblek-blek di sana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kedua, saat pasar kecamatan dijadikan tempat pengambilan gambar dan adegan sebuah sinetron di mana bintangnya adalah Nok Erni, penyanyi dangdut koplo yang sedang naik daun. Orang-orangpun memenuhi pasar tanpa aba-aba, ingin sekedar melihat wajah penyanyi tenar itu.
Peristiwa baru yang nyaris sama, boleh disebut peristiwa ketiga, yaitu hadirnya Hamdani yang memikul celeng yang kaki-kakinya terikat awi tali, sejenis bambu yang sangat kuat dan liat.
Seorang pemuda memikul celeng di pundak saja sudah menjadi berita besar, apalagi ia disejejeri seorang perempuan edan. Maka orang-orang-orang pun berkumpul lagi di sana tanpa aba-aba, sekadar ingin tahu drama kehidupan.
Lebih istimewa lagi, peristiwa itu terjadi tanpa pemberitahuan atau woro-woro sebelumnya.
Tiba-tiba saja pagi itu dari ujung jalan yang mengarah ke pasar yang sedang ramai karena hari pasar, seorang pemuda berbadan tegap yang hanya mengenakan kaus dalam bercelana komprang, berjalan santai dengan celeng dipundak. Di depannya, seorang perempuan asyik menembang, sesekali bergoyang menari erotis diselingi joget dangdut koplo yang sedang mewabah di desa Malausma.
Dua insan ini spontan menjadi sorotan dan tatapan orang-orang lengkap dengan kasak-kasuk mereka ketika desa itu nyaris tanpa sentuhan peristiwa luar biasa selama berbilang tahun. Hamdani dan Sofiah menjadi berita yang membuat orang-orang berkumpul tiba-tiba seperti kawanan semut rangrang menyeret bangkai kumbang.
Tetapi, ada juga yang menjauh karena takut perempuan edan itu benar-benar mengamuk di pasar, khususnya kaum perempuan juga. Keyakinan kampung itu menyatakan, orang edan akan semakin edan saat berada di keramaian pasar.
Sebaliknya, ada juga yang malah mendekat, yaitu anak-anak yang ingin berjoget koplo bersama, juga laki-laki normal yang masih menganggap bahwa Sofiah adalah bunga tercantik di desa itu. Dan, jumlah mereka jauh lebih banyak.
“Mengapa dia menjadi sinting seperti itu, ya?”
“Kudengar dia tertekan akibat dikhianati banyak lelaki hidung belang.”
“Kalian tahu ‘kan kalau dia pernah menjadi lonte di Mangga Besar?”
“Ah, kalau saja dia masih melonte, aku akan menyewanya untuk beberapa malam, tidak peduli uang hasil panen padiku habis.”
“Perempuan ini benar-benar kembang desa, istriku saja tidak secantik dia!”
Para lelaki terus berceloteh antar sesamanya.
Sedang, perempuan yang sedang diperbincangkan kaum laki-laki di pasar itu masih menari erotis, meliuk-liukkan pinggul dan bokongnya yang berisi.
Kaum laki-laki datang lebih mendekat, diam-diam mencuri pandang buah dada Sofiah yang tanpa kutang, menerbitkan imajinasi liar di kepala mereka. Sedang Hamdani, terus saja berjalan memikul celeng, mengiringi Sofiah menuju ruko di mana Koh Ahong membuka usaha di depan pasar kecamatan.
“Terus saja, Teh Sofi, itu tokonya sudah kelihatan,” kata Hamdani saat Sofiah berhenti sejenak. Mungkin kelelahan.
Sungguh, orang-orang itu tidak pernah tahu perjuangan Hamdani sampai kepada putusan harus pergi ke pasar beberapa jam sebelumnya….
Saat jantera bianglala raksasa yang melingkari cahaya rembulan itu muncul selepas tengah malam, Hamdani membangunkan Sofiah yang terlelap di dangau, seperti biasanya. Sebuah ritual yang diyakininya bakal menyejukkan pikiran Sofiah yang sedang terguncang, yaitu berendam di air sungai yang dingin di air terjun. Ritual itu masih Hamdani lalui.
“Bangunlah, Teh Sofi, kita akan ke pasar menjual celeng pagi ini,” bisik Hamdani di telinga Sofiah.
Kaki mereka sudah tidak dipersatukan dalam satu ikatan kain syal seperti hari-hari sebelumnya. Hamdani punya satu keyakinan, Sofiah tidak akan kabur atau lari kendati ia sedang tertidur pulas. Ia sudah berani melepas ikatan itu.
Belum lagi Sofiah membuka mata, Hamdani merasakan sesuatu yang membasihi pahanya. “Kamu ngompol lagi, Teh?” tanyanya kepada Sofiah yang masih tertidur. Dengan dian terbuat dari biji jarak yang direnceng, Hamdani ingin memastikan cairan apa gerangan yang membasahi pahanya.
Darah!
Halaman : 1 2 Selanjutnya