OPINI : MIRAS Tradisional “Cap Tikus”, Antara Legalitas dan Berdayaguna

- Jurnalis

Kamis, 19 November 2020 - 15:31 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh : Hendri A. Dano & Chrisvanly G. Baradi

Tulisan ini akan dibagi menjadi dua sudut pandang, yaitu dari perspektif pidana dan Sociological Jurisprudence.

Disclaimer; Tulisan ini dibuat dengan berbagai sudut pandang yang mana melihat realitas Miras Tradisional dalam cakupan hukum positif dan sosio-hukum. Tulisan ini tentu tidak membela dan mendiskreditkan siapapun.

Beberapa waktu lalu, viral sebuah berita terkait razia miras jenis Miras Tradisional (captikus) di Desa Nulion yang dilaksanakan oleh Polsek Totikum Selatan yang dipimpin langsung oleh Kapolsek Totikum Selatan bersama anggota, Danpos Totikum-Tosel dan Satpol PP.

 

Berkaitan dengan razia tersebut, sebenarnya miras jenis captikus bukan hal yang baru di beberapa desa di Kabupaten Bangkep, termasuk Desa Nulion. Kenapa?

 

Dilihat dari segi historisnya, masyarakat di Desa Nulion maupun di beberapa desa lainnya sudah sejak lama memproduksi, menggunakan, memperjualbelikan, sampai mengonsumsi miras tersebut secara turun-temurun.

 

Selain dikonsumsi oleh masyarakat, hal positif yang perlu diingat bahwa dari dahulu miras jenis captikus menjadi salah satu penopang ekonomi masyarakat Desa Nulion selain ubi-ubian, kacang-kacangan, dan tanaman tahunan lainnya dan melalui bisnis tersebut ada pula yang menyekolahkan anak-anaknya hingga menjadi sukses.

 

Pertanyaan menarik adalah apakah produksi miras tradisional (cap tikus) tetap dipertahankan atau ditinggalkan?
Aspek Pidana Penggunaan Miras Tradisional Mengawali tulisan pada sub aspek pidana penulis mengutip suatu adagium yang berbunyi

 

“Der Strafe komt eine subsidiare stellung zu”,  artinya bahwa tempat hukum pidana adalah selalu subsider terhadap upaya hukum lainnya. Adagium ini cukup relevan dengan razia miras tradisional yang dilakukan oleh aparat penegak hukum beberapa waktu yang lalu.

 

Penggunaan miras jenis cap tikus di kalangan masyarakat seperti yang telah dipaparkan sebelumnya di atas, kemudian menjadi hal yang dilema ketika aspek pidana yang notabene menertibkan, menjerakan, dan melindungi kepentingan umum dipertentangkan dengan aspek sosial-ekonomi masyarakat tersebut.

 

Selain itu, terbukti selama ini pendekatan atau sanksi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum tidak membuahkan hasil atau tidak menjerakan oknum-oknum yang diduga memproduksi, memperjualbelikan, dan atau mengonsumsi minuman tradisional tersebut.

 

Bahkan dengan adanya ketentuan pidana dalam Perda Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol hanya sebatas hitam di atas putih dan belum bisa berbicara banyak terhadap masalah penggunaan minuman tradisional di masyarakat Banggai Kepulauan.

 

Dilihat dari sudut pandang hukum pidana, penggunaan miras diatur dalam Pasal 300, Pasal 492, dan Pasal 536 KUHP. Dalam Pasal 300 Ayat (1) KUHP menyebutkan:

“Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: barangsiapa dengan sengaja menjual atau memberikan minuman yang memabukkan kepada seseorang yang telah kelihatan mabuk; barangsiapa dengan sengaja membuat mabuk seorang anak yang umurnya belum cukup enam belas tahun; barangsiapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan sengaja memaksa orang untuk meminum minuman yang memabukkan”

Kemudian, Pasal 492 Ayat (1) KUHP menyebutkan:

“Barangsiapa dalam keadaan mabuk di muka umum merintangi lalu lintas, atau mengganggu ketertiban, atau mengancam keamanan orang lain, atau melakukan sesuatu yang harus dilakukan dengan hati-hati atau dengan mengadakan tindakan penjagaan tertentu lebih dahulu agar jangan membahayakan nyawa atau kesehatan orang lain, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam hari, atau pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah.”

Sementara itu, ketentuan dalam Pasal 536 Ayat (1) KUHP berbunyi:

“Barangsiapa terang dalam keadaan mabuk berada di jalan umum, diancam dengan pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah.”

 

Berdasarkan konteks tersebut, Pasal 300 KUHP digolongkan sebagai kejahatan, sementara Pasal 492 dan Pasal 536 KUHP diketegorikan sebagai pelanggaran.

 

Sehubungan dengan Pasal 492 dan Pasal 536 KUHP, dapat disimpulkan bahwa seseorang yang mabuk dapat dikenai sanksi pidana jika ia melakukan perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kegaduhan atau keributan sebagaimana diatur dalam Pasal 492 KUHP, atau jika ia mabuk berat pada saat berada di tempat umum.

 

Apabila dalam keadaan mabuk tersebut ia juga melakukan tindak pidana lain, maka tentunya dapat dijerat pula dengan pasal-pasal lainnya yang diatur dalam KUHP maupun di luar KUHP.

 

Selain itu, penulis perlu menegaskan bahwa penggunaan miras sebagaimana yang diatur dalam Pasal 300 KUHP dan keadaan mabuk sebagaimana diatur dalam Pasal 492 dan Pasal 536 KUHP oleh seseorang tidak serta merta dikenakan sanksi pidana karena seseorang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana apabila sudah terpenuhi semua unsur tindak pidananya dan harus menimbulkan akibat terhadap orang lain.

 

Sosiological Jurisprudence terhadap Miras Tradisional Istilah sosiological jurisprudence merupakan istilah yang tidak asing bagi mereka yang bergelut dalam dunia hukum.

 

Singkatnya, istilah ini merupakan suatu mazhab/aliran dalam filsafat hukum yang melihat adanya hubungan timbal balik antara hukum dan masyarakat. Menurut mazhab ini, hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat, sehingga sering dipahami bahwa aliran sosiological jurisprudence merupakan aliran yang memisahkan secara tegas antara hukum positif (the positive law) yaitu hukum yang dibuat oleh penguasa dan hukum yang hidup (the living law) yaitu hukum yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.

 

Pada awalnya, aliran ini berkembang di Amerika mulai 1930-an, yang oleh salah satu penggagasnya yaitu Roscoe Pound, pernah mengungkapkan dengan kutipan terkenal yaitu the law is a tool of social engineering, dengan harapan bahwa hukum dapat menjadi alat perubahan sosial tanpa mengingkari dan merugikan apa yang ada di masyarakat.

 

Berbicara Miras tradisional yang menjadi inti topik masalah pembahasan seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, sangatlah menarik jika dipandang dari aliran sosiological jurisprudence, sebab aliran ini tidak memandang siapa yang salah, bagaimana penegakkan hukumnya dan sejauh mana sanksi yang diberikan kepada pelaku baik dari produsen maupun konsumennya.

Follow WhatsApp Channel www.kabarbenggawi.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Rekomendasi untuk Anda

Ketidaknetralan ASN dalam Pilkada Banggai Laut, Ancaman bagi Demokrasi Lokal
Menuju Bangkep Emas 2030, Peluang dan Tantangan
Koreografi Kekuasaan
Kepala Desa Bukanlah Raja Yang Berkuasa
Banjir dan Perda RTRW, Sebuah Refleksi Bencana Berulang Banggai Laut
Harapan Orang Desa Di Marka Jalan Eoforia Politik 2024
Tadarus Demokrasi: Menghadapi Derasnya Informasi Ditahun Politik
Menilisik Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
Berita ini 47 kali dibaca
Tag :

Rekomendasi untuk Anda

Selasa, 26 November 2024 - 07:00 WITA

Ketidaknetralan ASN dalam Pilkada Banggai Laut, Ancaman bagi Demokrasi Lokal

Jumat, 18 Oktober 2024 - 15:44 WITA

Menuju Bangkep Emas 2030, Peluang dan Tantangan

Selasa, 30 Juli 2024 - 08:39 WITA

Koreografi Kekuasaan

Rabu, 10 Juli 2024 - 10:19 WITA

Kepala Desa Bukanlah Raja Yang Berkuasa

Jumat, 5 Juli 2024 - 10:43 WITA

Banjir dan Perda RTRW, Sebuah Refleksi Bencana Berulang Banggai Laut

Berita Terbaru

Banggai Laut

Fix Tak Lolos PPPK Tahap I Akan Jadi PPPK Paruh Waktu

Kamis, 23 Jan 2025 - 12:54 WITA